Oleh: Yudi
Prayoga
Pede
dengan bangsa sendiri, ini sangat erat kaitanya dengan pede dengan diri
sendiri, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainya. Kita, sebagai bangsa yang
telah merdeka selama 70 tahun, mengalami perubahan yang sangat pesat, mengalami
kemajuan dalam hal pendidikan, perekonomian, sosial dan budaya, apalagi dalam
hal teknologi, yang sekarang hampir telah mendarah daging di benak bangsa kita.
Seolah-olah hidup sekarang tanpa teknologi bagaikan sayur tanpa garam.
Memang
bangsa kita, sebagai bangsa yang kaya akan berbagai budaya, suku, etnis dan
bahasa. Menjadikan kita sebagai bangsa yang besar dimata dunia. Contoh kecil
saja, wayang dan gamelan, alat musik tradisional yang di pelajari di amerika. Dan
juga tentang budaya kepesantrenan yang menjadi kajian wajib di Universitas
California, dengan bahan ajaran novel ayat-ayat cinta karangan Habiburrahman
El-Syirazi.
Tetapi
kebesaran di mata dunia, kadangkala kita lupa untuk menjaga dan melestarikanya,
lama lama kitapun enggan menggunakan dan merawatnya, serta yang paling
berbahaya yaitu, merasa gak pede dengan budaya bangsanya sendiri. Sehingga
banyak budaya yang kita miliki juga diakui oleh bangsa lain, karena keteledoran
kita akan berharganya warisan nenek moyang. Kadang kala, kita pun tidak merasa
kehilangan. Seperti pengakuan Malaysia atas Reog Ponorogo, Ludruk, Batik, keris
dan lain sebagainya, yang diakui sebagai warisan Negri Johor. Inikan sangat memalukan, sebagai pewaris
budaya yang menelentarkan begitu saja. Kalau sudah begini siapa yang salah,
siapa yang merasa bersalah, dan siapa yang mau disalahkan.
Gak pedenya juga, kita terlalu gandrung dengan budaya
orang lain, dan menganggapnya keren, gaul, trend, dan sesuai dengan era
sekarang. Padahal belum tentu yang namanya dari luar, mengandung nilai kebaikan, keharmonisan, dan
keramahan. Memang kita tidak mungkin bisa
membendung budaya yang datang dari barat, maupun timur. Karena semua bangsa
berloma-lomba menginginkan budayanya
yang paling maju, dan paling berpengaruh diseluruh dunia. Kita sebagai bangsa
mandiri, harus berdiri diatas kaki sendiri, harus sadar, dan ingat bahwa kita
memang mampu menyokong peradaban sekarang dan yang akan datang.
Dalam
pendidikan sejarah, kita-pun dibuat gak pede oleh pemerintah, dengan bangsanya
sendiri. Mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Contohnya dalam
buku-buku sejarah, bahwa bangsa kita dijajah kolonial Belanda selama 350 tahun,
atau 3 abad setengah, dan yang memprihatinkan lagi guru sejarahnya-pun menerangkanya
sangat tekstual dan tidak ada pembanding yang lainya. Kita sudah sangat lama
dibodohi oleh ilmu pengetahuan yang beracun, yang membenak dipikaran bangsa.
Padahal seharusnya dan sebenarnya kita dijajah kolonial Belanda hanya 10 tahun,
selebihnya Belanda hanya mencoba menjajah, bahkan Aceh tidak pernah takluk.
Karena apa, yang dijadikan rujukan ilmu, hanya berasal dari komentar-komentar
dan lelucon Bangsa Barat, yang sepenuhnya mengandung distorsi sejarah. Namun
setengah kebenaran sejarah bangsa ada di dalam teks-teks pujangga yang ada di
museum Belanda. Karena yang namanya kolonial selamanyapun akan tetap menjajah
walaupun, tidak dengan cara fisik, namun dengan cara mental dan fikiran.
Sehingga kita masih menganggap bahwa bangsa kita lemah dalam intelektual dan
fisik. Namun sebaliknya itu salah, bangsa kita selalu bertahan dan
mempertahankan martabat bangsa, sejak zaman dahulu kita pernah menjadi bangsa
adi kuasa, bangsa yang makmur, baladatun toyyibatun warabbul ghofur.
Melirik sebentar keadikuasaan bangsa kita. Pada tahun 270
M, atau abad ke-3 masehi. Seorang pelau bernama Guanseng menuliskan, bahwasanya
ada kapal dari selatan Jawa datang ke China, yang ukuran kapal tersebut tiga
kali lipat ukuran kapal China, panjangya 65 meter dan tingginya 10 meter, dinaiki
sebanyak 700 awak, serta muatan 10.000 ton barang. Jadi kita dapat membayangkan
kehebatan bangsa kita sebagai negara maritim yang dapat membuat kapal-kapal
besar, kapal perang, dan kapal perdagangan, yang dahulu belum pernah ada yang
menyetaraainya. Pada tahun 648, bangsa kita telah memiliki undang-undang hukum
pidana dan perdata, namanya Kalingga Dharma Jastra, yang disusun oleh raja
Kartiga Singga suami dari ratu Sima, mempunyai 119 pasal. Untuk perbandingan,
pada tahun 648, itu bersamaan dengan kekhalifahan Utsman bin Affan.
Bangsa pribumi sejak zaman dahulu menjadi bangsa nomor
satu. Para wali songo atau kaum Brahmana (guru-guru), itu gampang diterima oleh
kalangan pribumi, karena menyesuaikan struktur sosial, menghormati kaum pribumi
dan memulyakanya. Baru setelah 1 mei 1848 mengalami perubahan, ketika belanda
menerapkan struktur sosial yang namanya Burgolk Wertburk, kulit putih sebagai
warga pertama, China dan arab warga kedua, dan pribumi warga ketiga. Sejak saat
itu pula, banyak pemberontaka pribumi. Tercatat dalam sejaraah sejak tahun
1800-1900 M, terjadi sebanyak 112 kali pemberontakan yang dipimpin guru tarekat
dari pesantren, contohnya KH. Hasyim Asyari yang tidak mau menggunakan adat
jepang seikere.
Zaman sekarang, secara umum ada tiga pemetaan
karakteristik budaya bangsa kita, yang membuat kita jadi gak pede menggunakan
budaya bangsanya sendiri, meskipun hanya mengadopsi, meniru-niru. Pertama,
penganut agama dengan atribut keagamaanya, seperti islam dengan selalu
menggunakan jubah, berjenggot, berbahasa, ana, antum dan lain
sebagainya. Ini kan budaya jazirah arab, bukan semata-mata karena warisan
Islam. Seperti ungkapan Gus Dur ”islam datang bukan untuk mengubah budaya
leluhur kita, menjadi budaya arab, bukan untuk ’aku’ jadi ’ana’, ’sampeyan’
jadi ’antum’, ’sedulur’ jadi ’akhi ukhti’, kita pertahankan milik kita, kita
harus serap ajaranya, tapi bukan budaya arabnya”. Kedua, bangsa kita dengan
budaya barat, sekarang banyak perubahan dalam bersikap dan sopan santun
terhadap sesama pribumi, dikatakan di dalam literatul dan halaqoh, bahwa bangsa
barat merusak bangsa dengan 3F (food, fashion, fun). Memang kalau kita amati
pernyataan tersebut benar, bahkan dapat kita tamukan sehari-hari juga dalam
diri kita sendiri. Makanan ingin yang bergengsi, pakaian ingin yang keren ala
barat keluaran tahun baru, dan hiburan-hiburan yang penuh ketidak ramah dan
sopan santun. Semua penuh kapitalisme, apalagi yang tinggal di ibu kota.
Ketiga, yang tidak bisa meninggalkan budaya leluhurnya dan tidak bisa menolak
budaya yang datang dari timur, maupun barat tetapi harus di filter
dahulu. Jika dalam istila jawa “jowo di gowo, arap di garap, barat di ruat”,
dengan istilah diatas, sebaiknya bangsa kita memiliki karakter yang ketiga,
selain tidak lupa dengan budayanya sendiri, tetapi juga toleransi diperlukan
untuk mengharmonisasikan, merukunkan perdamaian dunia. Sehingga bangsa kita
menjadi mercusuar dunia, dan selalu pede dimanapun tempatnya, dan kapanpun
waktunya.
Jadi sekarang kita sebagai bangsa yang mewarisi budaya
leluhur kita, harus selalu pede, dan harus selalu d ijaga, jangan sampai ruh
kita hilang dari jasad, bisa dikatakan bangsa yang sakit. Budaya kita ramah
bukan pemarah, bangsa yang plural, toleransi, sopan santun (andap asor),
dan adikuasa. Kita sebagai pemuda harus selalu semangat mewujudkan negri gemah
ripah loh jinawi, yang bersemboyan bineka tunggal ika, dan yang satu
lagi jangan dilupakan ”pedelah dengan budaya bangsamu sendiri, jika ingin
membangun istana sampai ke bulan”. Wallau
a’lam bishowab, to be
continue…
Penulis
Abal-Abal, Yang Selalu Kurang Dalam Kecukupan Dan Cukup Dalam Kekurangan.