Kisah seorang selebgram yang menjadi korban KDRT selama 5 tahun telah menyentuh hati banyak orang. Selama pernikahannya, ia harus menghadapi kekerasan fisik, kata-kata kasar, dan pengkhianatan dari suaminya. Setelah bertahun-tahun menahan penderitaan, ia akhirnya memutuskan untuk bersuara dengan mengunggah video bukti kekerasan di media sosial. Tindakan berani ini telah membuka mata publik tentang bahaya KDRT dan mendorong banyak orang untuk mendukung para korban.
Lantas, Bagaimana Islam Memandang Kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut?
Kekerasan dalam rumah tangga atau dalam bahasa fiqih termasuk dalam kategori Syiqoq, merupakan hal yang pastinya dilarang dalam syari’at Islam, bukan hanya Islam, saya yakin bahwa tindakan ini akan dikecam oleh berbagai ajaran agama dan pandangan hukum. Tindakan yang mendhzolimi kaum perempuan, tidak hanya memberikan bekas luka fisik pada korbannya, bahkan tindakan ini ikut mencederai psikis perasaan wanita yang dalam fitrahnya tercipta dalam kelemah-lembutan.
Zaman Arab Jahiliyah dahulu (sebelum datangnya Islam) para wanita dianggap sebagai pembawa sial, bahkan lebih sial dari buhul-buhul sihir, mereka layak diperlakukan sebagai budak-budak nafsu oleh pemabuk disekitarnya, wanita juga diperjual belikan dalam pasar secara terang-terangan untuk dijadikan budak, sampai-sampai anak perempuan yang baru lahir pun akan dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup karena sang ayah malu bila istrinya telah melahirkan sumber kesialan di tengah-tengah keluarganya. Hingga datanglah Rasulullah ﷺ dengan syari’at dari Tuhan nya yang kemudian mengangkat derajat perempuan sampai saat ini.
Laki-laki ataupun seorang suami yang berani melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik terhadap perempuan tidak lebih dari sekedar pengecut yang bingung dalam meluapkan amarahnya, kekerasan dalam rumah tangga sama halnya dengan hukum rimba dimana yang kuat akan bertindak semaunya menindas yang lemah. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan kekerasan, apalagi yang dilakukan dalam kehidupan rumah tangga.
Bagaimana Alqur’an & Hadits Memandang kasus KDRT ini?
Al-Qur’an dan hadits sebagai kitab suci umat muslim telah memberikan panduan yang sangat jelas tentang bagaimana harusnya seorang suami memperlakukan istrinya dalam kehidupan berumah tangga, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya “تفسير القرآن العظيم” ketika menafsirkan surah Ar-Rum: 21
﴿وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١﴾
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Beliau mengibaratkan bahwa jodoh itu bagaikan آيات الله (tanda-tanda kebesaran Allah) yang harus diagungkan (Katsir, 1999). Ibarat saat kita melihat Al-Qur’an tergeletak di tanah maka secara naluri keimanan tangan kita akan segera menggapainya dan menaruhnya di letak yang tinggi, karena Al-Qur’an merupakan آيات الله dan kita tidak akan rela bila melihatnya berada di bawah karena takut akan terinjak-injak. Maka sama halnya dengan jodoh saat kita berani menyakiti istri, hal tersebut memiliki kesan bahwa kita telah berani menyakiti salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah, naudzubullah.
Rasulullah ﷺ selain sebagai utusan Allah, beliau juga seorang suami yang memberikan pedoman bagaimana harusnya seorang laki-laki memperlakukan istrinya, meski beliau memiliki 9 istri namun beliau berhasil menjadi teladan suami yang baik karena dapat berlaku adil dalam membimbing istri-istrinya
Sayyidah Aisyah Radhiyallahu anha bertutur:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Dari Aisyah ra, berkata: Bahwa Rasulullah saw tidak pernah memukul siapapun dengan tangannya, tidak pada perempuan (istri), tidak juga pada pembantu, kecuali dalam perang di jalan Allah. Nabi saw juga ketika diperlakukan sahabatnya secara buruk tidak pernah membalas, kecuali kalau ada pelanggaran atas kehormatan Allah, maka ia akan membalas atas nama Allah swt." (HR. Imam Muslim, Nomor 6195).
Imam Nawawi dalam kitab “Syarah An-Nawawi ala Muslim”, menerangkan bahwa “dari hadits ini memukul istri, pelayan, atau hewan, meskipun dibolehkan untuk mendidik dalam Islam, akan tetapi lebih baik ditinggalkan.” Kalau Rasul saja tidak pernah menggunakan kekerasan meski kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya maka bagaimana dengan para suami saat ini yang seharusnya berpikir sebagai umat pengikut yang mengaku mencintainya.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم، قال فِي خُطْبَتِهِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ "فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فروجهن بكلمة الله، ولكم عليهن أن لا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسَوْتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ"
Dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam khutbah beliau pada haji Wada'; "Bertakwalah kepada' Allah dalam memperlakukan wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah bahwa mereka tidak boleh memasukkan seorang pun yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menciderai. Dan mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf (baik).” (H.R. Muslim 1218)
Ada nasehat yang sesuai dengan hadits ini, dari Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi kepada putranya yang sedang menikah: “Wahai anakku, perempuan ini (yang menikah denganmu) telah meninggalkan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya, dan dia meninggalkan itu semua hanya untuk hidup bersamamu, maka seharusnya kamu bisa menjadi pengganti dari mereka semua untuk istrimu.”
Prof. Quraish Shihab salah satu mufassir tanah air dalam wawancara bersama anaknya Najwa Shihab beliau menyampaikan bahwa “Tidak ada orang yang memukul istrinya kecuali orang yang gagal” ujar beliau. Karena tugas seorang suami adalah membina dan membimbing anggota keluarganya, tatkala dalam proses membimbingnya dia menerapkan perilaku kekerasan seketika itu pula ia telah gagal.
Maka tidak ada alasan yang dapat membenarkan pelaku KDRT. Menurut fatwa MUI provinsi Lampung (Kendi, 2017) “seorang suami yang telah melakukan KDRT telah masuk dalam kategori nusyuz.” Yang mana dosa nusyuz ini termasuk dalam kategori dosa kabair (dosa-dosa besar) urutan nomor ke 47 dalam kitab Al-Kabair.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan seorang suami kepada istrinya hukumnya adalah haram, karena Al-Qur’an dan Hadits pun telah banyak mengungkapkan kecaman dan ancaman bagi pelaku kedhzoliman, selain itu tindakan ini bisa menjadi landasan bagi seorang istri untuk menjatuhkan khulu’ (gugatan cerai) terhadap suaminya, bahkan hakim pengadilan bisa langsung menjatuhkan talak (cerai) tanpa perlu adanya gugatan dari pihak istri (Al-Auqaf, 1983)
Sebagai Masyarakat yang hidup berdampingan, kita mempunyai tanggung jawab untuk mendidik, mencegah dan berbela sungkawa terhadap para korban serta melaporkan pelaku tindakan pengecut ini kepihak yang berwajib. Semua ini bertujuan agar tidak ada Wanita-wanita sekitar yang memiliki rasa trauma terhadap hubungan pernikahan, serta memberikan efek jera kepada para calon suami agar mereka berpikir seribu kali sebelum melakukan kekerasan di kehidupan berumah tangga.
Penulis: Fakhrul Razi dan Adhiim Hafiidh
Komentar