Oleh: Yudi
Prayoga
Zaman
semakin modern dan lebih dari modern, segala alat teknologi dapat disajikan
secara praktis penuh kenikmatan, segala budaya melintasi simbol budaya, segala
ilmu pengetahuan dengan mudah melintasi daratan dan lautan, semua ingin
berlomba-lomba mengubah peradaban. Namun disayangkan, di balik serba kebebasan mereka,
kita, banyak yang serba tidak pede (percaya diri) dengan berbagai
keadaan, tidak pede dengan dirinya sendiri, dengan bangsanya, dengan
kepercayaanya, dengan budaya leluhurnya. Lalu, apakah kita malah nggak pede
dari kepedean, atau karena gengsi dari kepunyaan? Untuk itu, ada hal-hal yang
perlu dijabarkan.
1.
Gak Pede Jadi Diri Sendiri
Menjadi
diri sendiri adalah kebanggan setiap manusia yang hidup maupun yang tidak
hidup. Sebagai mana Tuhan telah menciptakan kita semua berbeda-beda karakter
dan kreatif imajinasinya untuk saling mengenal, melengkapi, mempelajari, bukan
memaksa meniru keadaan dan keinginan seseorang. Walaupun kadangkala kita meniru
itupun tidak akan sama seperti yang ditiru, jangan samakan antara aku dan dia,
karena memang kita mahluk yang berbeda tak akan pernah sama dan hanya Tuhan yang
tahu seluruhnya tentang kita.
Oleh
karena itu ketika kita melihat keragaman bentuk dan keragaman wujud materi dan
imateri seolah-olah kita minder dan nggak pede dengan diri kita sendiri,
apalagi ada yang lebih pada yang lain dan tidak ada pada diri kita. Hal ini-lah
yang sering membuat mandek keadaan kita, tidak mau melakukan hal-hal yang dapat
kita lakukan. Sehingga nggak pedenya dengan diri sendiri, kita enggan mengakui potensi
baik yang diberikan Tuhan dan tidak mau bersyukur atas nikmat-Nya. Sejak zaman
azali Tuhan telah membekali kita dengan potensi takdir supaya kita
berkausalitas kepada-Nya, serta supaya mengetahui ada kekuatan yang dahsyat di
dalam setiap diri manusia yang jika diungkap akan melebihi segala hal kecuali
Tuhan.
Jika
kita mengetahui catatan semesta raya yang telah tercatat sejak awal dan kokoh
tidak pernah robek, maka kita tidak akan mau menjadi orang lain, karena kita
mengetahui pilihan yang tepat untuk diri kita sendiri, meskipun ketika catatan
tersebut dihembuskan pada segelintir orang, maka orang tersebut akan mengetahui
peran dirinya dalam tubuh dirinya sendiri di dunia.
Banyak
suasana alam yang dapat kita ambil pelajaran, seperti seorang petani yang
diberikan potensi bertani pasti tidak mau ingin menjadi politikus, sebaliknya seorang
yang diberikan potensi politik tidak mau ingin menjadi tukan ojek, karena memang
bukan wilayah potensinya.
Jadi,
bagi mereka yang pede menjadi dirinya sendiri pasti akan pede juga melakukan
aktivitas sehari-harinya, mensyukuri setiap yang diberikan Tuhan kepadanya,
tidak akan mengeluh dan meratap sehingga banyak mengatakan “Tuhan tidak adil”,
yang tidak adil itu Tuhan apa diri kita, karena diri kita tidak adil dalam
memahami kehendak-Nya. Pedelah dengan diri kita sendiri selagi memang itu baik
dalam pandangan manusia, alam dan Tuhan. Karena kehidupan itu tidak lepas dari
yang namanya senang dan sedih, siapapun orangnya, apapun pangkat dan jabatanya,
baik presiden, kyai, ulama, pastur, perampok, anak punk, dan sebagainya.
Ketika
presiden memberikan suatu hukum sehingga hukum tersebut ditaati dan dijalankan
rakyatnya, maka presiden akan senang, namun ketika hukum dilanggar maka
presiden akan sedih. Juga seperti kyai, ketika kyai dititipi anak dijadikan
sebagai santri maka sang kyai akan senang dan sebaliknya ketika santrinya
banyak yang melanggar hukum pesantren maka kyai pun akan sedih. Perampok juga,
ketika mendapat hasil rampokan yang banyak maka ia senang sekali, dan ketika
merampoknya gagal bahkan ketahuan maka perampok pun sedih.
Jadi
selama kita hidup di dunia tidak akan lepas yang namanya senang dan sedih, setiap
sekon waktu pun mengandung yang namanya senang dan sedih, bahkan senang dan
sedih adalah sifat yang diciptaka oleh Tuhan untuk manusia dan diberika takdir
umurnya masing-masing. Jadi buat apa kita mempermasalahkan kehidupan, dan nggak
pede dengan diri kita sendiri, lha wong isinya juga gitu-gitu aja. Seperti
ungkapan Gus Dur “gitu aja kok repot”, inilah yang menandakan beliau tidak
memandang hidup sebagai masalah, namun sebagai karunia, karena Gusdur pede
menjadi dirinya sendiri.
Jadi
sekarang buat apa kita bersedih hati, tidak pede, yang ujung-ujungnya
menyengsarakan diri kita sendiri. Galilah potensi takdir Tuhan dan
berkausalitas kepadanya, karena kita memang mempunyai potensi masing-masing
yang luar biasa, mempunyai daya linuwih yang tak sama dimiliki setiap
manusia, memiliki daya Sang Aku dalam diri aku (kita). Karena ketika kita berlutut di hadapan Tuhan,
namun kita dapat berdiri dihadapan siapapun. Wallahu a’lam. To be
continue...
Penulis adalah jamaah Thoriqoh Cinta. Sebagai ’Santri
Mbelinx’ di atas kerajaan Tuhan. Setiap waktu selalu menggigil merindukan
Rindu, serta mendambakan di tepian telaga Cinta.