Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sastra

TELUR DAN AYAM

Sang fajar mulai menyongsong dari ufuk timur meninggalkan sang purnama di ufuk barat. Bersama tetesan embun pagi berlinang kejernihan. Menandakan pagi hari begitu menyejukkan dengan adanya sang mentari yang mulai melukiskan senyuman dalam bingkaian pelangi berwarna-warni. Kala itu Alif dan konco-konconya (teman-temannya) mempersiapkan diri untuk memulai kegiatan belajar mengajar (KBM).

PUISI HARI SANTRI

I Pada awalnya Hanya cantrik Perkumpulan orang-orang suci Di kuil-kuil Yang terdengar Hanya puji Pada langit-langit Gemuruh Seperti mantra Kesunyian malam, membius Lafad tembang di alun-alun serambi Malam-malam Diatas gubuk Dibawah lampu uplik Serat ditulis
Satu Surat Di Suatu Masa Oleh : Lulu Almarjan Kulipat surat di semi pertengahannya Aku bergetar, namamu tertulis samar di  dalam sana Ada damai yang semakin deras meregang  Namun nyatanya aku harus tetap berlalu Karena tak sanggup bersanding air mata dengan penghambaan hebatmu Sayap putihmu luas, namun aku kelabu Air mata jernihmu deras, namun aku rentan terhanyut

Saat Hujan di Rumah kita

Oleh : Joko Bokoasih* Dulu musim apa?, “Hujan”, begitu katamu Ingatanku kini merapat erat mengenang kalian, Gerimis siang dimasa pembelaan Pakaian yang dulu basah bersama teriakan, Itu cukup mendidihkan nyali kita Ku ajak sebentar berteduh Tapi nyatanya, (kita memilih untuk teguh) Tak mengeluh https://id.aliexpreees.com/w/wholesale-rain-birt.html Sekarang musim apa? “Hujan juga”, begitu lanjutmu Masihkah banci-banci imprealis berteduh dirumah kita! Pastikan kamar kita aman, Ku titipkan kunci ini pada kalian (pemuda) Tunggulah sampai hujan reda Sekiranya tamu tak pergi jua Beri saja kopi sianida Bandung, 28 oktober 2016 #titipan para pejuang yang ku imajinasi

Bambumu Tuk Kehidupan

Oleh: Indah al-Aziz* Bagimu juang-lah nomor satu Bagimu semangat harus membatu Bagimu bebas-lah anganmu Angan yang wajib tuk kau genggam Angan yang harus tuk kau acungkan Angan yang pasti kan kau pertahankan Mimpi mu begitu besar Kala jajahan bertepuk tangan Semangat mu tak pernah padam Kala sakit terpatri diam Cintamu pada negeri Kau juang bebaskan diri Bambu runcing yang kau genggam Demi hidupmu dari meriam Begitu keras kau berjuang, dan kini kau dapati kebebasan Kau hadiahkan kemerdekaan Kau menangkan tombak kehidupan Lumuran darah tak ku saksikan Namun, juang-mu ku rasakan Kasih buat-mu pejuang, t'lah ku terima buah kemerdekaan *Mahasiswi baru semester 1 jurusan Tasawuf Psikoterapi, fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung, Salah satu penerima Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) 2016

Menghitung Kemerdekaanku Sendiri

Oleh: Camar Sengkala* Entah sudah perayaan yang keberapa ini? Tatapanku masih tetap sama Kosong tanpa bayangan Atau tak lagi bisa menghitung anganku Walau saat bayi, Sanak family merayakannya, Bahkan di istana negara berbaris, Lalu meriam mencuat, Sedang aba-aba tentara membisu Hingga air mata jatuh tersapu debu Entah kemerdekaan yang keberapa! Aku masih menunggu anganku Berharap ingatan itu kembali Sebab aku tuli, Lantas aku buta jua Aku hanya mengenal luluh Ketika rudal merenggut semuanya Sedetik kala aku lahir Meski aku tak bisu, Bagaimana aku bisa berkata? "Merdeka" Sedang firasatku bersabda "ah, belum juga" Dan bila lusa nanti, Telingaku telah mendengar tak ada kemiskinan, Mendengar kemakmuran Juga mata ini melihat keadilan Aku akan berteriak sekencang-kencangnya.... "MERDEKA" Cibiru Hilir, 14 Agustus 2016 *Mahasiswa semester 7 jurusan Tasawuf Psikoterapi, fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung,

Nyanyian Ampunan

Tergeletak tubuh membujur Yang hanya berteman kain terlihat akur Saat nyanyian dan lagu-Nya turut kabur Bersama linangan air yang terus menidur Dan berbotol-botol air sebagai pelipur Dalam makna duka yang semakin tercebur Diantara relung hati nan hancur Ah, sudah bukan kasur Namun kayu keras tempat tidur Tempat ia kan dikecup keningnya oleh dedulur Sebagai formalitas rasa hancur Kemudian tertutup sudah wajah berwarna kapur Dengan senyum syukur Karena masa yang telah udzur Dan sekian amal hingga di akhir umur Menghantarkannya pada liang kubur Dengan keduka tanah yang subur Kami mengantarnya bersama ribuan doa yang di maghfur Alifah al-Khasany Bandung, 23 Oktober 2015 05:24 pm

Tiuplah Ubun-Ubun Ayahmu

Oleh: Joko Bikoasih Anakmu kini sudah besar kakanda! terlihat mungil sejak tadi sore supaya besar kelak merangkak kau gendong dia meski aku telah tiada dan biarkan sabdaku berada dibawah telapak kakimu Duhai diriku... Apa kau lelah menjadi ayah? bersimpuh lemah dihadapan sejarah nikah merakit asa untuk anak istrimu meski orangtuamu terkadang merasa cemburu kau itu lelaki... menapaki teriknya mentari tuk kaiz rizki memimpin angin yang mengombang-ambing meneduh peluh dua insan yang kau peluk memberi cinta tanpa harus keluar air mata saat hati terobek oleh tuntutan kau bahkan hanya diam memandang harapan keyakinan itu akan segera datang bukan tangisan kecengengan Ayah..... aku tau kau lelah melangkah tunjuklah aku bila hanya membuatmu malu kan ku tiup mesra ubun-ubun itu sebagai tanda pengabdianku untukmu!, Oh,Ayahku!! [ Bandung, 12 November 2015.(17.00 WIB) ]

Puisi Harapan (Keragaman) Santri

Oleh : Rexy Aditya Dari perbedaan kita disini Untuk persatuan keridhaan ilahi Kita disini mewujudkan mimpi, mengukir prestasi Darah kita sama merah Tulang kita sama putih Kepala kita sama hitam Namun pemikiran dan watak kita beragam Warna kulit tak lagi dilihat Suku bangsa tak lagi dipandang Karena kita berawal dari yang sama Dan akan berakhir dalam kebersamaan Sebelum akhir datang, persatuan harus diwujudkan Sebelum saling cabik saling perang Yang kita lakukan Ada senyum ada harapan Ada senyum ada pengetahuan Senyuman semangat kita bersama Tanpa pandang derjat dan kasta Ingatlah kawan, Kita kan terbang tanpa mengisap ganja Kita kan lawan semua bentuk prasangka Kita kan tunjukan pada dunia Bahwa santri juga bisa Jika berhasil dalam mengembangkan potensi diri Bukan si palsu yang kan kita temui Tapi jati diri santri yang sejati Dalam mengubah takdir ba

Aku karna Engkau

Oleh Agus Tsaufi Aku hanyalah seorang pecinta Dan engkaulah sang maha cinta Tiada pernah aku berada Kecuali karnamu sang maha ada   Aku hampa tanpa danaya engkau.   Aku tak bermakna tanpa hadirmu.   Karna engkaulah warna dalam hidupku.   Karna engkaulah pemberi makna bagiku Aku hanyalah sesosok tubuh. Namun engakau beri jiwa pada tubuh itu. Aku hanyalah layaknya cangkang tanpa sebuah harga. Lalu engkau sisipkan mutiara yang buatku berharga.                                 Inilah seorang aku karna engkau.                                 Biarlah aku untuk engkau                                 Izinkan aku jadi persembahanku untuk engkau.                                 Karna engkaulah sang maha dari seorang aku

Labbab-Labbab Penjilat

Oleh: Joko Bikoasih Abraham kecil telah laknat sekarat Gedung azimat telah berubah jadi khuldi akhirat Memakan semua tempat keramat Menyapu ayat-ayat perlambat kiamat Oh, sukma cendekia Apa otak tak setapak dengan kaumnya Ajaran cahaya Badar telah pudar Bagaimana  kita memuja Dia? Tempat Nya malah kau ludahi Peristirahatan risalah sejati mau kau bongkar Ubun-ubun  ranum ingin kau gandengkan Jalan-jalan thawaf hampir tak terlihat Gerbang-gerbang masuk kau tikam pandang Menyedot aroma lewat mercusuar tandingan Ingin aku bungkus saja gedungmu itu Dengan mola’ dan wasil Atau kain ma’afir yang biasa itu Biar api Yaman menjadi hakimnya Dan biarkan kiswah mengibarkan kemenangan Sebagai kurun-kurun yang berlalu Atas kehancuran proyekmu Biarkan pengembara tenang memuji Jiwa yang termainkan kembali suci Darah kesiaan tak lagi menyeka Siksa abadi akan hadir sebagai karma Dengan dentuman ridho ilahi [ Bandung, 14 Oktober 2015, 1 0.

AKU RINDU YA RABB

Oleh: Tirta Pawitra Ya Allah, Ya Rabbi Aku rindu akan kasih sayang dan ampunan-Mu Berilah aku cahaya suci-Mu Yang menerangi seluruh kerajaan-Mu Yang Kau berikan pada RasulMu,  pada Kekasih-KekasihMu Ihdinasshirotolmustaqim,  tuntunlah hamba yang hina pada-Mu Sang Maha Cinta Sucikanlah dengan telaga surga-Mu Bukakkanlah pintu kerahmatan-Mu  yang merahmati seluruh alam,  sebagaimana Engkau berikan kepada Kekasih-Mu Kanjeng Rasul Muhammad shallallahualaihi wasalllam Ya ’Alim,  berilah pengetahuan untuk mengetahui kebesaran Cinta-Mu Aku rindu akan hal-itu Bukakkanlah gerbang singgasana-Mu,  biarkan aku bertemu pada-Mu,  meskipun aku ada dalam genggaman butir-Mu Dan biarkan hias dan pernik menjadi hiasan pujian atas-Mu Aku takut keadilan-Mu atas pebuatanku,  namun aku rindu akan kerahmatan-Mu,  karna kerahmatan-Mu mengalahkan murka-Mu Ya Rahman, Pengasih dan Penyayang Yang Mengasihi dan Menyayangi seluruh mahluk alam semesta Tiada

MASIHKAH SATU PERIODE

Oleh: Tirta Pawitra Aku dan engkau Kami dan mereka Siapakah gerangan kita ini Yang menikmati kebebasan atas nama santri Yang tinggal mengaji dan mengkaji Yang tinggal mensyukuri tapi lupa diri!!! Yang menikmati kebebasan sebagai mahasiswa Yang tinggal menganalisa dan aplikasinya Yang tinggal memuja tapi lupa dengan-Nya!!! Apakah masih ketaatan itu? Apakah masih kepercayaan itu? Dengan semua nikmat yang ada,  yang telah tiada  dan yang akan ada Saudara-saudari Siapakah kita di balik tubuh yang manja Dibalik angan-angan yang tergoda Dibalik nama-nama keturunan adam hawa Sahabat-sahabati Jika kita memiliki akal cerdas Siapakah ruh dibalik akal tersebut Jika kita memiliki hati yang suci Siapakah ruh dibalik hati tersebut Jika kita memiliki raga yang indah Siapakah ruh dibalik raga tersebut Jika kurma hidup dibawah akar yang tak terlihat Lalu kita hidup di bawah siapa yang tak terlihat Masihkah kita kenal, kita tahu, kita

Aku Ingin Bebas

Oleh:   Madno Wanakuncoro 1/ Aku merasakan kematian Mencekik anganku Maka aku adalah teriakan Menembus tujuh langit Membelah pasukan malaikat Menyemburatkan aurora sana. 2/ Aku sampai pada kehampaan Sama seperti Azazil Yang berkorban menjelma Iblis Membuat Jibril menangis Sementara ia bersujud. 3/ Maka aku adalah diam Membuncah sumsum belulangku Mengobar keheningan Memicu taringnya mengulitiku. Wahai bintang-gemintang, sudikah kau Luruh ke bumi: mencipta bahagia Menghujam kenistaan ini Yang telah lama menelikung ranjang keabadianNya. [ 12 September 2015 ]

Ilusi Kemilau

Oleh:   Madno Wanakuncoro Hikayat yang tereka Oleh jutaan manusia Akan kemilau dan indahnya senja Kala matahari hendak istirahat dari kerja Kita sungguh tenggelam dalam ilusinya Terbuai iming-iming rekaman memori Reka ulang momen silam, penuh hayat Memaksa lidah terpukau dan tertenung sihirnya Bahkan, tatkala kuasyik merenung Ia besitkan kenangan pahit manisku Pahit: ketika copotnya dua tali yang tersimpul timpang Manis: ketika mengais rupiah dengan keringat seusia bocah Aku tertegun merasuki alam nostalgia Ingatan yang memancing erupsi campuran: Tawa dan tangis Saat terbangunkan senja yang meredup, Diri seakan berbeda Kudengar pesan lirih dari bisikan misteri Matahari bersedih harus berlalu Sebab ia rasa dunia dan alam selalu Berteriak memanggilnya Namun, ia sadari di belahan dunia lain Ia dihujat sehabisnya Sungguh tiada kusangka Sang mentari penerang pun bisa sedih dan tak  berdaya Meski ia bangga, sanggup menjalankan

Kedipan Si Bocah

Oleh:   Madno Wanakuncoro Roda waktu seolah mengebut Menggilas semuanya tiada luput Dengan sombong ia kelang-kelok Hingga tak jarang yang tersodok Kini kurindukan silam Saat mata masih bersih suci tiada kusam Belum ternoda oleh dunia yang kian mencekam Hingga memaksaku buta dan beraut masam Kala itu, aku berangan kini Saat si bocah berkedip polos Lantas ia instruksikan nuraninya ikuti naluri Mencubit rerumputan dan menyepak bebatuan Ia terlantar oleh keadaan paksa Demi mengais rupiah Dengan peluh di usia bocah Meski harus menyisihkan setumpukan kelereng dan layang-layang Meski harus mengubah wangi keringat saat berlarian mengejar bola Air mukanya tetap membuncah Mengucurkan tetes demi tetes Melubangi relung dada                                                 [ Bandung, 24 Maret 2015 ]