Oleh:
Siti Alifatul
Luthfiyah
Pesantren ialah sebuah lembaga pendidikan yang dalam
kiprahnya dapat menembus berbagai zaman. Ia memiliki keunggulannya melalui
sifat keluhuran dan kemampuannya untuk bersaing dengan peradaban dunia,
termasuk di era modern ini. Pesantren dan segala tradisinya, kyai, atau pun partikel
yang ada di dalamnya tidak dapat dipisahkan karena ada hubungan yang menjadikan
pesantren sebagai institusi yang berdedikasi lebih.
Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa mengenai
kemasyarakatan tidak lepas dari pesantren juga, khususnya di zaman modern ini.
Mengingat dewasa ini menusia menghadapi pelbagai macam persolalan yang
benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Di balik segala perkembangan dunia
khususnya di bidang IPTEK, dunia modern ini sesungguhnya memiliki potensi untuk
menghancurkan kearifan manusia, di samping memang juga memiliki sisi positif
tergantung pada subjek yang memanfaatkan kemodern-an tersebut.
Pesantren, Tradisi dan Modernitas
Lalu, apakah hal yang dapat menjadi solusinya? Atau,
adakah sesuatu yang rasional dalam hal ini? Dan banyak lagi pertanyaan,
permasalahan, problema yang melingkupi. Tetapi, yang cukup jelas bahwa dengan
menempatkan pesantren sebagai suatu institusi pendidikan yang bersifat global.
Walau memang selama ini, definisi atau paradigma “global” sering dikaitkan
dengan transformasi institusional dari Barat, tetapi hal tersebut pun perlu
dipertanyakan sebab pesantren pun sebagai suatu lembaga pendidikan tidak lepas
dari modernitas yang memiliki kegigihan semangat untuk berkreasi dan
berinovasi. Oleh karena itu, pesantren pun harus melihat dengan penuh kesadaran
bahwa realita dunia modern ini merupakan bagian dari sunnatullah yang disikapi
dengan penuh kehati-hatian.
Pesantren, jika di masa lalu menempatkan tradisi sebagai
sesuatu yang sakral dan menjadi ciri khasnya kini harus mampu menjawab tantangan
modernitas. Implementasi tradisi yang canggih dan modernitas dunia ini
seyogyanya menjadikan pesantren sebagai pusat sentral peradaban yang
mengguncang dunia. Dengan kata lain, dengan tradisinya yang tetap melekat,
pesantren mampu menjawab problem modernitas ini dengan bijak. Bertolak belakang
jika pernyataan Barat yang tidak mengkaitkan masa lalu sebagai proses
modernitas, pesantren justru meyakini bahwa modernitas pesantren berasal dari
rentetan peradaban Islam di masa-masa sebelumnya.
Jika sebelumnya pesantren di masa lalu. Maka, pesantren
pada abad ke 21 ini seyogyanya mampu menyesuaikan perkembangan zaman terlepas
dari posisinya sebagai suatu institusi pendidikan. Pesantren juga harus
memiliki sifat terbuka terhadap pengaruh dari luar dengan sikap yang adaptif
dan selektif. Sebagai mana yang di ungkapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa, “Produk
pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi
terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan- tuntutan hidup dalam konteks ruang
dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang)”.
Oleh karenanya, tradisi dan modernitas ialah suatu kesatuan
yang pada dasarnya adalah sebuah respons atau realitas. Sekarang pun,
sebenarnya pesantren telah mengalami proses
dialektika tradisi dan modernitas, terutama pesantren
yang masih kuat mengusung tradisinya. Pesantren tidaklah apatis terhadap modernitas karena
sifat modernitas itu pun termasuk hal yang global bukan hanya untuk kalangan
tertentu. Artinya, pesantren yang tradisional yang mengusung tradisi dan modern yang
tidak apatis terhadap modernitas ini adalah sebuah kekuatan yang luar biasa.
Maka terbukti bahwa kesalahan besar bangsa Eropa ialah
memberikan citra buruk atas tradisi ketika mereka memasuki masa Renaisance abad
ke-18 lalu.
Peran Kiai, Santri dan Tasawuf dalam Pesantren
Sekali
lagi, bahwa modernisasi akibat revolusi pengetahuan dan teknologi menuntut
penyikapan yang aktif dan kontekstual. Dan pesantren akan tetap hadir dengan
partisipasi penuh sebagai kontribusi untuk berjalan menghadapi zaman dengan
segala model problemanya. Maka tidak berlebihan ketika kiai atau santri di tuntut untuk aktif
mengikuti perkembangan informasi dan melakukan perumusan ulang dalam menjawab
tantangan bagi macam problem kontemporer. Inilah yang menjadi letak relevansi
dan aktualitas pesantren di tengah modernisasi kehidupan.
Berbicara masalah modernitas dan pesantren, tak lepas
pula dari peran kiai dan santrinya serta tradisi yang mendarah daging. Selain
itu, perilaku modernitas, hedonisme dan lainnya menjadikan sesuatu yang perlu
diluncurkan. Apakah itu? Ialah sufisme atau tasawuf bagi masyarakat
modern ini.
Menurut Komaruddin Hidayat terdapat tiga tujuan mengapa
tasawuf atau sufisme perlu diberdayakan dalam kehidupan mereka.
Pertama,
turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari
kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
Kedua,
memperkenalkan literatur pemahaman aspek esoteris (kebatinan), baik
terhadap masyarakat Islam –yang mulai melupakannya- maupun non Islam, khususnya
masyarakat Barat.
Ketiga, untuk
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni
sufisme, adalah jantung ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan
tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam. Dalam hal ini Nashr
menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” merupakan dimensi kedalaman dan
kerahasiaan (esoteric) dalam Islam, sebagaimana syariat berakar pada
al-Quran dan Sunnah. Ia menjadi jiwa risalah Islam, seperti hati yang ada pada
tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan
sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan
dalam Islam.
Sifat dan pandangan sufistik sangat diperlukan untuk
masyarakat modern yang mengalami sekian problema masa kini. Dengan syarat tidak
dipusatkan hanya pada diri pribadi dan individu tetapi aplikatif dalam
meresponi berbagai masalah yang dihadapi. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan dalam
tasawuf ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak
berserakan itu. Karena melalui tasawuf ini seseorang akan menyadari bahwa sumber
dari segal-galanya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari Tuhan,
sebagaimana alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya
adalah bayang- bayang Tuhan. Di sinilah wawasan moral diperlukan dalam kemajua
IPTEK, yaitu nilai yang di arahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan sehingga tidak
ada saling ketertabrakan satu sama lainnya.
Perpaduan yang Indah
Jika ilmu pengetahuan dan agama dipadukan maka keduanya
akan memberi kekuatan tersendiri. Hubungan ilmu dan agama –ketuhanan- yang
diajarkan juga di dalam dunia pesantren memupuk kepribadian santri yang agamis
dan intelek. Dengan ilmu pengetahuan mengantarkan pada dunia dan lingkungan,
sedang dengan ilmu agama menuntun arah di dunia dan jati dirinya.
Selanjutnya, ilmu agama –tasawuf- melatih manusia agar
memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan
budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan
pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara
demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan- perbuatan tercela menurut
agama.
Penulis
adalah santri alumni PonPes
Modern Al-Amanah, Junwangi-Krian-Sidoarjo.
PBSB Angkatan 2014 Jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN SGD Bandung.