Langsung ke konten utama

Sufi, Melampaui Pemahaman Fundamental-Radikal

Oleh: Muhammad Zidni Nafi’[1]
Beberapa tahun terakhir, dunia semakin dikejutkan dengan fenomena “kelakuan” umat beragama yang memperlihatkan sikap, aktivitas dan gerakan yang tidak manusiawi. Dari isu syiar kebencain (hate speech), diskriminasi, intimidasi, terorisme hingga pembantaian manusia. Motifnya pun tidak jauh-jauh dari “atas nama Tuhan” atau “atas nama agama”.

Agama dipandang sebagai tujuan akhir. Agama digunakan sebagai alat legitimasi untuk merusak, bahkan menghilangkan nyawa manusia. Sekali berbeda pendapat, orang bisa langsung menyalahkan pendapat lainnya, tanpa mengetahui kedalaman pemahaman.

Lihat saja, kasus ISIS yang hingga sampai saat ini tidak kunjung usai. Terlepas dari berbagai versi yang menerangkan asal-usul tentang ISIS, yang jelas fenomena terbaru seperti ISIS tersebut sungguh sangat mengerikan. Menyerang pemerintahan yang sah, menyiksa dan membunuh orang yang tidak mengikuti pendapatnya, dengan alasan mendapat anjuran dari pemahaman agama (Islam) yang mereka pahami.

Misalnya di Indonesia, beberapa tahun lalu ada sekelompok muslim yang tega membantai komunitas Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) di suatu daerah di Jawa Barat. Motifnya tidak jauh-jauh dari tuduhan sesat kepada JAI. Masih ada banyak lagi kasus-kasus kekacauan di kalangan Islam yang memang sudah ada dalam sejarah peradaban Islam itu sendiri serta agama-agama lain juga mengalami masalah perselisihan itu pula, sebagaimana kasus Rohingya, Myanmar, yang kini sedang menjadi tranding topic.

Radikalisme: Buah Pemahaman Agama yang Sempit
Radikalisme dalam bahasa Arab –mengutip pendapat Said Aqil Siroj— disebut “sayyidah at-tanatu”, artinya keras, eksklusif, berpikir sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Kelompok radikal selalu ada pada setiap agama, termasuk dalam agama Islam. Maka bisa maknai bahwa muslim radikal adalah orang Islam yang berfikir sempit, kaku dalam memahami Islam, serta eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya.[2] Mana mungkin seorang yang mengaku beragama tetapi malah menodai pemahaman agamanya dengan tindakan-tindakan yang kejam. Tentu ada kaitannya dengan kedalaman pemahaman agama.

Jauh-jauh hari, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga telah menjelaskan  ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal (radikalisme) demi “kepentingan” Islam.[3]

Bila melihat kasus-kasus yang sudah terjadi, amar ma’ruf nahi munkar sebagai salah satu ajaran Islam difungsikan dengan tidak tepat. Tangan hingga senjata digunakan untuk alat menegakkan ajaran amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Padahal jika melihat sumber ajaran tersebut, Rasulullah sama sekali tidak menganjurkan dengan tindakan-tindakan kekerasan. Kesalahan dalam memahami teks inilah yang menjadi salah satu penyebab pemahaman agama yang sempit.

Dangkal Intelektual Akibat Fundamentalisme
Pada dasarnya inti ideologi fundamentalis adalah anti-Westernisme. Hal ini ironis, sebab para pendukung fundamentalisme anti-Westernisme adalah orang-orang yang berpendidikan Barat. Namun di pihak lain, menurut Fazlur Rahman, pengetahuan fundamentalis Islam belakangan tentang Islam adalah dangkal. Ia mengatakan bahwa fundamentalisme, “pada dasarnya, merupakan fungsi orang bukan ahli; kebanyakan dari mereka adalah kalangan profesional seperti pengacara, dokter, insinyur”. Fazlur Rahman melihat gejala ini sebagai sesuatu yang bisa membahayakan, sebab dapat menimbulkan pemiskinan intelektual atas Islam modern.[4]

Pemahaman agama yang dangkal sebagaimana disinggung oleh Fazlur Rahman itulah yang dapat melahirkan sikap atau tindakan yang dangkal pula. Apalagi bila dikaitan dengan radikalisme, keduanya satu sama lain saling berkaitan. Pemahaman agama yang dangkal (fundamental), dapat berpotensi menelurkan sikap radikal dalam beragama.

Sufi Mengajarkan Persahabatan
Guru-guru Sufi selalu mengajarkan tentang persahabatan dan mengajar murid-muridnya untuk berperilaku yang penuh kasih sayang dan persahabatan. Bahkan di antara para guru Sufi ini ada yang beranggapan bahwa persahabatan adalah kewajiban agama.[5]

Persahabatan menjadi sebuah prinsip hidup sekaligus ajaran syariat yang wajib dilaksanakan tanpa ada konpromi. Prinsip-prinsip ini mereka tuangkan dalam karya-karya mereka, antara lain Tashih al-Iradat oleh al-Junaid, ar-Ri‘ayah bi al-Huquq oleh Ahmad ibn Khadruwaih, Adab al-Muridin oleh Ibnu ‘Ali at-Tirmizi, dan masih banyak lainnya.

Mengingat persahabatan adalah sebuah ajaran agama yang wajib dilaksanakan maka sifat yang menjadi antitesa dari persahabatan ini; yaitu, menyendiri atau ekslusif, adalah tindakan yang terlarang. Kaum Sufi mengajarkan agar kita bersifat inklusif dan mau menerima banyak teman dan sahabat. Dari titik inilah ajaran kasih sayang terhadap siapapun dapat dikembangkan. Tidak ada yang layak dibenci, semuanya harus dicintai. Tidak boleh bersikap keras melainkan harus mengedepankan kelembutan dan kasih sayang. Semua orang adalah sahabat, teman, dan bukannya sebagai musuh yang harus diperangi. Inilah prinsip dalam tradisi sufi.

Prinsip kaum Sufi dalam persahabatan ialah bahwa mereka harus memperlakukan setiap orang menurut derajatnya masing-masing. Mereka memperlakukan orang yang lebih tua usianya dengan perasaan hormat dan takzim laiknya bapak-bapak mereka. Orang-orang yang usianya sebaya diperlakukan dengan keramahtamahan laiknya saudara-saudara sendiri. Dan terhadap yang lebih muda, kaun sufi memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang laiknya anak-anak sendiri. Mereka menghindari kebencian, iri hati, dan kejahatan, serta selalu menerima tulus ikhlash nasihat dari siapapun.

Dalam persahabatan, truth claim adalah tindakan yang harus dijauhi. Sebab truth claim adalah tindakan kekerasan ideologis dan verbal yang sangat membahayakan bagi keberlangsungan setiap hubungan dan kemitraan apapun bentuknya. Dalam persahabatan, kaum sufi menginginkan agar umat manusia menghindari “keakuan”, egois, mau menang sendiri, dan melupakan apa yang menjadi keinginan dan paradigma sahabatnya, orang lain.

Seorang Sufi bertanya kepada Syaikh Abu al-Qasim al-Jurjani tentang kewajiban-kewajiban dalam persahabatan. Syaikh menjawab, “Engkau tidak boleh mencari kepentinganmu sendiri. Semua keburukan dalam persahabatan timbul dari keakuan. Menyendiri lebih baik bagi orang yang lebih mementingkan diri sendiri. ia yang melalaikan kepentingannya sendiri dan memperhatikan kepentingan sahabatanya, berarti ia berhasil dalam persahabatan.”[6]

Akan tetapi, bagi orang-orang yang hatinya penuh oleh cinta dan tidak mengedepankan hasrat dan kebutuhannya sendiri akan terus berusaha untuk mempertemukan dua pikiran yang saling bertentangan. Sebab, tidak ada yang lebih sulit daripada menyatukan dua pikiran; yaitu, membantu keduanya saling mencintai.[7]

Gerakan Tawwabin sendiri adalah organisasi massa penduduk Kufah yang muak melihat kelaliman penguasa Bani Umayah. Mereka adalah orang-orang yang selalu menempa diri dengan ibadah dan taubat atas segala dosa yang dilakukan. Meminjam bahasa kontemporer kita, mereka adalah kaum sufi yang zuhud dan wara’.

Perlawanan “kaum sufi” Tawwabin ini bukan berarti mengamini kekerasan pedang dan pertumpahan darah. Akan tetapi, ia merupakan perlawanan yang berjiwa cinta; yaitu, mencintai dan membela umat muslim yang tertindas. Sebab sifat cinta adalah untuk menciptakan ikatan. Pecinta, Kekasih yang dicintai, dan cinta itu sendiri pada hakikatnya adalah satu.[8]

Itulah kenapa dalam ajaran Sufi tidak boleh membenarkan diri sendiri. Sebab, sikap yang merasa benar sendiri merupakan potensi berbahaya yang kaitannya dengan hubungan dengan orang lain. Ketika sudah membenarkan diri sendiri, akan mengakibatkan sikap ingin mengintimidasi orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Jika orang lain yang diajak enggan untuk mengikutinya, tidak jalan lain kecuali dengan kekerasan (radikal).

Sufi mengajarkan untuk mengamalkan inti beragama Islam, yakni rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana ajaran Islam yang diyakini serta diamalkan tersebut dapat menjadi suatu kebaikan untuk seluruh alam. Kebaikan yang semestinya disebarluaskan oleh manusia sebagai makhluk beragama. Bukan malah menodai dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang harus dihormati dan dijaga oleh setiap manusia.

Al-Uswah Al-Hasanah sebagai Modal Sufi
Islam sendiri merupakan agama yang mengedepankan dinamisasi pemeluknya dalam menghadapi kehidupan. Dinamisasi di sini sering berwujud pada sikap umat Islam yang okomodatif, kreatif, dan terkadang juga defensif dalam menghadapi nilai dari luar dirinya. Jika berbicara tentang penghormatan atas hak-hak manusia yang asasi, mereka belajar kepada Nabi Muhammad yang menangkap esensi Islam sebagai agama al-uswah al-hasanah, agama adalah suri tauladan yang baik. Metode al-uswah hasanah adalah gerakan beragama yang bersifat soft-power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan kepada kaum dhuafa, penegakan HAM, dan gerakan kultural lainnya.[9]

Untuk itu, keberagamaan sufi bukanlah untuk bersaing untuk menjadi yang paling benar, tapi bagaimana kebenaran yang dipahami itu dapat membuahkan berkah, bukan malah mendatangkan bencana.

Sufi melihat agama bukan lagi dilihat dari “teks suci” dengan apa adanya saja, tetapi kedalaman makna dan ilmu yang terkandung di dalamnya. Sehingga bisa sampai pada inti dan tujuan Islam yang sesungguhnya. Sufi memaknai dunia bukan hanya ada satu “warna” saja, tetapi mengatahui berbagai warna yang semestinya memang harus dihormati.

Oleh karena itu, keberagamaan sufi dapat melebihi pemahaman agama yang keilmuannya selama ini direduksi yang berakibat pada fundamentalisme, dan penyelewengan yang diakibatkan radikalisme dapat menampilkan pemahaman Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Penulis adalah Mahasiswa Semester IV Jurusan Tasawuf Psikoterapi (TP),  Ketua Bidang Pers Senant Mahasiswa Ushuluddin.


[1] Mahasiswa jurusan Tasawuf Psikoterapi semester IV/E.
[2] Said Aqil Siraj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006, hlm. 100.
[3] Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institue, 2006: 265.
[4] Budi Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: Mizan, edisi E-book, hlm. 722.
[5]  Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W. M., Bandung: Mizan, 1992, hlm. 301.
[6] Ibid., hlm. 302-204
[7] Kabir Helminski, Meditasi Hati Transformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 2005, hlm. 66.
[8] Ibid., hlm. 67.
[9] Said Aqil Siraj, Op.Cit., hlm. 188.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk, Cari Tahu Perbedaan Psikoterapi Barat dan Psikoterapi Islam

Setelah kita mengetahui pengertian psikoterapi, tentunya dalam pemikiran kita muncul berbagai macam pertanyaan terkait pembahasan tersebut.  Nah, pada kali ini akan membahas mengenai perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam. Apa yang menjadi topik perbedaan antara keduanya? Sudut pandang psikoterapi dari mana yang efektif untuk digunakan? Mari kita cermati sama-sama  Psikoterapi ialah perawatan yang menggunakan alat, teori dan prinsip psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dan seorang ahli menciptakan hubungan yang profesional dengan pasien. Sedangkan psikoterapi Islam ialah teknik penyembuhan/penyelesaian masalah kejiwaan/mental dengan sentuhan spiritual yang menggunakan metode Islami seperti zikir, penerapan akhlak terpuji dan lainnya berdasar Al-Qur’an dan hadits.  Jika diteliti dari pengertian keduanya, tentu sudah terlihat berbeda bukan? Perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam: 1. Objek Utama Psikoterapi Dalam pandangan psikologi

Download LIRIK dan MARS CSSMoRA

D Jreng, jreng.. G Genggam tangan satukan tekad Am C G Tuk meraih mimpi Am C G Saatnya santri gapai prestasi Am G Untuk negeri ini Reff : G Satu padu kita bersama Am C G Tuk menggapai cita Am C G Langkahkan kaki tetapkan hati Am G Demi bumi pertiwi C Bangkitlah kawan Wujudkan impian G Perjuanganmu kan slalu dikenang C Bangkitlah kawan tuk kita buktikan G Pesantren kita selalu di depan Am G Bersama CSS MoRA Download Mars CSSMoRA

Always Beside You

Hujan. Selalu hujan. Beginilah keadaan kota Yogya. Sudah 1 bulan terakhir hujan terus menyapa kota ini. Hujan yang turun begitu deras membuat aktivitas orang-orang menjadi terganggu. Namun, Tuhan itu maha adil. Ia tak pernah lupa memberikan anugerah dibaliknya. Tuhan selalu menyajikan keindahan bagi setiap umatnya. Salah satu keindahan itu adalah pelangi. Pelangi sering sekali muncul dipenghujung hujan sore hari. Warna-warnanya memberikan ketenangan bagi sebagian orang yang memang mengaguminya. Begitupun dengan gadis manis yang tengah duduk bersama sahabatnya di bawah naungan atap jerami. Pondok kecil yang sengaja dibangun di bawah pohon besar oleh kedua ayah mereka. Tempat itu mereka jadikan sebagai tempat tinggal mereka yang kedua. Di pondok itulah mereka sering habiskan waktu luang mereka bersama. Abimanyu Dirgantara dan Nora Prasvara. Mereka adalah dua orang yang begitu dekat. Keduanya bersahabat sejak belia, persahabatan itu masih kokoh terjalin. Dan tahun ini merupakan tahu