Jakarta - Meningkatkan mutu pendidikan agama dan keagamaan
menjadi salah satu misi Kementerian Agama. Peningkatan dimaksud tidak
sekedar pada sarana dan proses, tetapi juga lulusan yang selain taat
dalam beragama juga toleran dalam bermasyarakat.
Pesan ini
disampaikan Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin saat menjadi
pembicara pada acara Kopi Darat & Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli
dan Tukar Pendapat yang mengangkat Tema “Pendidikan Agama Islam
Berbasis Nilai-Nilai Budaya Damai”. Acara yang diselenggarakan di Ruang
Operation Room, Gedung Kemenag, Jakarta, Rabu (4/11) , ini juga
menghadirkan pembicara, Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Amin Haedari, Konsultan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia Abdul Malik, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abuddin Nata, serta Guru PAI SMAN 97 Jakarta, Nur Dewi Afifah dan Guru PAI SMKN 4 Tangerang, Maman Suryawan.
Menurut
Kamaruddin Amin, ada dua hal yang menjadi tujuan Pendidikan Agama
Islam di Indonesia. Selain melahirkan generasi penerus bangsa yang
saleh dan taat menjalankan ajaran agama, Pendidikan Islam juga harus
mampu menjadi instrument perekat, baik secara budaya, sosial maupun
yang lainnya. Untuk itu, ketika belajar agama, peserta didik tidak hanya
ansich belajar ilmu agama, tapi juga ditanamkan tentang nilai dan sikap
untuk saling menghormati antar sesama, meski beda agama. Mereka, lanjut
Kamaruddin, diajari nilai untuk tidak saling membenci dan mengkucilkan
antar umat beragama, namun bagaimana bisa tetap hidup berdampingan.
“Karena
Indonesia merupakan negara yang plural dan majemuk. Di sini, seorang
anak muslim diajarkan corak Islam yang moderat, damai dan sesuai dengan
alam demokrasi dan alam Indonesia yang sejak dahulu yang menjunjung
tinggi toleransia,” terang Kamaruddin Amin.
Sebagai bangsa yang
plural, Kamaruddin mengakui bahwa Indonesia mempunyai potensi konflik
yang tinggi. Dalam konteks ini, lanjut sosok yang juga tercatat sebagai
guru besar UIN Alauddin Makassar ini,
kontribusi pendidikan Islam dan lembaga Pendidikan Islam dalam menjaga
kerukunan umat beragama sangat besar. Apalagi, katanya, didukung dengan
infrastruktur organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah,
Persis, Mathliul Anwar, NW, Al-Khaerat, dan lain sebagainya. “Ini sangat
besar dan nyata kontribusinya dalam meredam konflik, dan mampu membawa
Indonesia menuju ke arah yang lebih baik,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur PAI,
Amin Haedari menceritakan pengalamannya, saat menghadirkan 3.000-an
siswa Rohis se-Indonesia dalam Kemah di Cibubur. Amin berkisah bahwa
meski mereka berasal dari berbagai daerah dan dikumpulkan menjadi satu,
tidak ada satu pun kasus kehilangan HP, kehilangan dompet dan lain
sebagainya. “Apalagi, saat kemah itu, kita mengajarkan tentang
persoalan-persoalan agama, mereka saling menghormati dan menghargai.
Pembinaan seperti ini, harus terus kita lakukan,” tegas Amin.
Para
pembicara dalam Kopi Darat ini, umumnya sepakat, bahwa Islam merupakan
agama Rahmatan Lil Alamin, agama rahmat, bukan hanya bagi umat Islam
saja, namun juga dunia. Bahkan, Islam sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi, multikultural dan humanisme. Nilai Islam tidak berjalan di
ruang hampa. Bukan pula normatif. Nilai Islam hidup dan berjalan dalam
kontek yang hidup pula.
“Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin adalah
Iman, Islam, dan Ihsan. Iman berarti mengamankan dari hal-hal yang
mengganggu. Islam maksudnya menyelamatkan dan Ihsan adalah berbuat
kebaikan, kepada siapapun, memberi kasih sayang kepada siapapun. Itulah
yang kami tularkan kepada para guru lainnya,” terang Maman Suryaman. (kemenag.go.id)