Langsung ke konten utama

KREDIBILITAS MORAL DALAM POLITIK

Oleh: Ibrahim Nur. A
Untuk dibedakan dari sekedar golongan kepentingan dan golongan penekan yang tidak ikut terjun langsung dalam pemilu maka (dalam ilmu politik) organisasi sosial politik lazim disebut saja partai politik. Ketiga jenis organisasi non-pemerintah tersebut, (sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat sebagai porsi hak politik-konstitusional warga negara), di negara demokratis modern (termasuk di negara korporasi?) keberadaan dan peranannya diakui dan dihormati.
Negara sebagai body politic : di negara hukum yang demokratis—negara demokrasi berlandaskan hukum (bukan negara kekuasaan), tidak ada “kemanunggalan” antara kekuatan politik dengan kekuasaan politik. Hanya di negara totaliter-otoliter, kedua unsur tersebut (kekuasaan politik dan kekuasaan politik) tidak dibedakan apalagi dipisahkan. Kalau di negara demokratis (demos Kratia, pemerintahan rakyat) rakyatlah (melalui partai-partai politik) menentukan pemerintah maka di negara ademokratis sebaliknya.
Partai politik yang berwibawa, berfungsi, dan mandiri memiliki kelengkapan legalitas formal dan legalitas sosial. Justru ke dalam yang terakhirlah masuknya (setidaknya lebih dekatnya) kredeibilitas moral dan validitas politik dalam peraturan politik yang beradab budaya, yang terutama diukur justru di saat pemilu.
Suara pemilih dan pemilu adalah amanah, pilihan, harapan kepercayaan, dan keberpihakan politik yang diatur akan dilindungi hukum. Merupakan kesalahan besar secara politik dan hukum kalau suara pemilih tidak dihiraukan, diselewengkan, dimanipulasi, bahkan disalahgunakan.
Suara pemilih tidak datang begitu saja dari langit ke tujuh tapi merupakn hasil garapan (daya upaya) jauh sebelum pemilu, partai politik yang dewasa adalah partainya harga diri dan kehormatan, bukan partainya belas kasihan pihak lain. Konon di beberapa negara di Eropa Barat yang menganut sistem multipartai dikenal adanya lembaga sanksi (termasuk diskualifikasi?), penalti (vonis) politik bagi partai politik dalam/ melalui pemilu gagal memperoleh kursi minimal (presentase raihan suara pemilu minimal) di parlemen (dewan perwakilan rakyat).

Kalau hal tersebut sampai terjadi, maka partai politik yang bersangkutan otomatis kehilangan hak untuk turut dalam pemilu berikutnya yang bisa berarti pula terbubarkan dengan sendirinya. Dengan perkataan lain, partai politik tersebut terbubarkan karena memang ternyata tidak lagi aspiratif-representatif mewakili (aspirasi politik) rakyat banyak.
Sebagai salah satu jenis, bentuk, cara kompetisi politik (politik prestasi), pemilu memang seyogyanya mengenal lembaga sanksi (diskualifikasi, penalti) politik bagi peserta-pesertanya.
Perlu diketahui, bahwa hukuman/tindakn politik tersebut bisa hanya bersifat legal-formal semata tapi bisa juga bersifat moral-sosial, atau keduanya. Sekali lagi, di sinilah letaknya kredibilitas moral dan validitas politik yang sesungguhnya menyangkut kepercayaan rakyat, maka validitas menyangkut keberlakuan di masyarakat.
Dalam pemilu, partai politik yang baik seacara matang dan bertanggung jawab memperhitungkan soal dana dan daya (funds & forces) yang dipakai. Apalagi dalam pemilu stelsel perorangan (distrik) dengan jumlah maksimal dana yang diatur undang-undang tidak mungkin ada partai politik yang begitu boros berbuat habis-habisan kajeun tekor asal sohor.
Partai politik yang baik (termasuk kandidat politik yang baik, untuk jabatan legislatif atau eksekutif), pasti mempraktikkan prinsip (maximun effort, minimun risk, upaya maksimun- risiko minimun). Dalam batas-batas hukum, politik, dan moral-etika.
Pemilu sebagai bukan persidangan di pengadilan, sorotan terhadap diri calon anggota legislatif dengan sendirinya lebih banyak mempermasalahkan kualitas demokratis-representasi-reputasinya daripada “bukti-bukti hukum-otentik” tentang ketidakpantasan calon anggota legislatif yang bersangkutan.

Tidak digubrisnya berbagai sorotan terhadap berbagai calon anggota legislatif, berarti dipeliharanya sumber-sumber ketidakpercayaan politik. Pemilu yang baik mampu menyelesaikan persoalan keterewakilan (representativeness) rakyat di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, bukan justru menambah saldo permasalahan poilitik yang sudah ada sebelumnnya.
Pemilu yang baik mampu mencegah kemungkinan terjadinya duaisme, friksi, apalagi konflik politik antar perlemen sungguhan lawan parlemen  jalanan. Kualitas wakil rakyat, yang paling pokok diukur dari keterkaitannya dengan rakyat. Ngukur kujur nimbang awak, siapa mewakili siapa?
Selaim mensyaratkan adanya massa rakyat pemilih dengan kondisi/tingkat kesadaran politik yang memadai (partisipan politik, bukan mobilisan politik), pemilu yang baik menuntut adanya pemimpin-pemimpin partai-partai politik yang berkualitas.

Kembali pada kelaziman yang “universal”, dalam organisasi politik terdapat kualifikasi aktivis, kader, pemimpin, dan tokoh. Aktivis adalah calon kader, kader calon pemimpin, dan pemimpin calon tokoh. Itu merupakan perumusan dan tingkatan yang umum, bukan khusus.
Dalam kualitas dan kuantitas secara piramidal, nampak dari atas ke bawah: tokoh, pemimpin, kader, aktivis, kalau perlu bisa terus sampai masa anggota. Tanpa membutuhkan posisi formal dalam struktur/komposisi kepemimpinan formal organisasi, ketokohan seseorang ditentukan oleh pengakuan umum terhadap kualitas dan peranan dirinya : very very important person, prominant person, distingushed person. Biasanya tokoh adalah filosof atau setidaknya ideolog dalam organisasi, kalau dalam Tri Tangtu di Buana termasuk rama dan resi.
Pemimpin: yang jelas dan pasti dia bukan sekedar bayang-bayang kekuasaan (dari luar), kepanjangan, suruhan, alat, boneka, ondel-ondel, tukang laden. Pemimpin bertanggung jawab tentang visi dan strategi perjuangan, pemikir, perencana, (konseptor), perancang kiprah dan arah perjuangan organisasi.

Dia adalah motivator dan organisator, setidaknya manajer organisasi. Tugas dan tanggung jawab pemimpin adalah memimpin, bukan sekedar mengikuti kehendak massa anggota, bahkan dia harus tahu apa yang baik bagi massa anggota. Kalau dalam organisasi perusahaan (ekonomi perdagangan), pemimpin adalah direktur (direksi).
Dalam 3R itu tadi, pemimpi itu adalah ratu. Dalam model/tipe dewan pimpinan organisasi, pimpinan belum tentu otomatis pemimpin. Kalau pemimpin adalah leader (leider), mak ketua adalah chairman (vorzitter).

Di lapangan, kegiatan pelaksanaan program-program organisasi dilakukan oleh aktivis dengan dipimpin oleh kader. Kalau semua tokoh, pemimpin, kader, dan aktivis bersatu, maka sukses organisasi tinggal hanya menunggu waktu. Dengan catatan: kalau hanya mengejar efektivitas, organisasi yang hierarkis dengan garis intruksi, karena demokrasi memang (agak) lamban tapi lebih baik.

Hanya partai politik (organisasi-sosial-politik) yang memenuhi standar minimal tertentu tentang tokoh-pemimpin-kader-aktivis- yang mampu menjadi partai politik yang mandiri, berfungsi, dan berwibawa sebagai wahana perjuangan rakyat yang merdeka dan berdaulat.

Dalam gejolak krisis kekuasaan, kmbalikan dan percayakanlah kekuasaan itu pada rakyat, karena rakyatlah sebnarnya pemilik kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam negara. “Intervensi” ke dalam demokrasi internal organisasi non-pemerintahan, hanya membikin konidisi masyarkat (bangsa) serba semu (artifical, superficial) saja. Keberhasilan (kepemimpinan) politik sebaiknya memiliki kelengkapan pembenaran (justifikasi) legal-formal dan moral-sosial. Itulah kredibilitas dan validitas politik, yang diperkuat dengan kredibilitas dan validitas moral dalam peraturan politik yang beradab budaya.

“Semoga Bermanfaat sahabat-sahabati”
Penulis merupakan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung,  jurusan Tasawuf Psikoterapi
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cab. Kabupaten Bandung {PMII}
Anggota Community Of Santri Scholars Of Ministri Of Religious affairs {CSSMoRA}

Komentar

Unknown mengatakan…
Unquestionably believe that which you said. Your favorite justification appeared to be on the internet the simplest thing to be aware of. I say to you, I definitely get irked while people think about worries that they just don't know about. You managed to hit the nail upon the top as well as defined out the whole thing without having side-effects , people can take a signal. Will likely be back to get more. Thanks gmail sign in

Postingan populer dari blog ini

Yuk, Cari Tahu Perbedaan Psikoterapi Barat dan Psikoterapi Islam

Setelah kita mengetahui pengertian psikoterapi, tentunya dalam pemikiran kita muncul berbagai macam pertanyaan terkait pembahasan tersebut.  Nah, pada kali ini akan membahas mengenai perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam. Apa yang menjadi topik perbedaan antara keduanya? Sudut pandang psikoterapi dari mana yang efektif untuk digunakan? Mari kita cermati sama-sama  Psikoterapi ialah perawatan yang menggunakan alat, teori dan prinsip psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dan seorang ahli menciptakan hubungan yang profesional dengan pasien. Sedangkan psikoterapi Islam ialah teknik penyembuhan/penyelesaian masalah kejiwaan/mental dengan sentuhan spiritual yang menggunakan metode Islami seperti zikir, penerapan akhlak terpuji dan lainnya berdasar Al-Qur’an dan hadits.  Jika diteliti dari pengertian keduanya, tentu sudah terlihat berbeda bukan? Perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam: 1. Objek Utama Psikoterapi Dalam pandangan psikologi

Download LIRIK dan MARS CSSMoRA

D Jreng, jreng.. G Genggam tangan satukan tekad Am C G Tuk meraih mimpi Am C G Saatnya santri gapai prestasi Am G Untuk negeri ini Reff : G Satu padu kita bersama Am C G Tuk menggapai cita Am C G Langkahkan kaki tetapkan hati Am G Demi bumi pertiwi C Bangkitlah kawan Wujudkan impian G Perjuanganmu kan slalu dikenang C Bangkitlah kawan tuk kita buktikan G Pesantren kita selalu di depan Am G Bersama CSS MoRA Download Mars CSSMoRA

PBSB 2016 Telah Dibuka

Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Ditpontren) Kemenag RI telah membuka pendaftaran PBSB tahun 2016-2017. Selengkapnya lihat di Pengumuman PBSB 2016 http://pbsb.ditpontren.kemenag.go.id/