Banyak ungkapan kekecewaan
terhadap Islam yang dipandang tidak mampu menjawab persoalan umat yang
semakin kompleks. Islam juga kadang hanya diidentikkan dengan jenggot,
jubah, peci, jilbab, sarung, meyakini hal-hal yang klenik, bahkan
diidentikkan dengan terorisme. Islam dianggap buta terhadap persoalan
kemiskinan, pelecehan seksual, kekerasan perempuan dan anak, perdagangan
manusia, bencana alam, dan lain sebagainya. Entah kenapa banyak juga
yang belum mengakui bahwa Islam peka serta sangat perhatian terhadap
problematika sosial, seolah-olah masa keemasan sejarah peradaban Islam
dilupakan begitu saja. Padahal Islam menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia yang tidak sebatas untuk umat muslim saja, namun semua
umat (rahmatan lil ‘alamin).
Sehubungan dengan hal itu, fikih yang
banyak dipahami orang (penuntun kehidupan paling praktis dalam Islam)
membicarakan empat aspek pokok kehidupan manusia. Satu di antaranya
adalah masalah ‘ubuduiyyah, yaitu mengurus langsung hubungan
transendental manusia dengan Tuhannya. Sedangkan tiga aspek lainnya
adalah mempunyai korelasi langsung dengan pengelolaan kehidupan materiil
dan sosial yang sifatnya duniawi, yaitu mu’amalah (hubungan profesional dan perdata), munakahah (pernikahan), dan jinayah (pidana).
Dalam Islam ada kelompok yang dikenal
dengan kelompok Islam Skriptualistik, tekstualistik, dan formalistik,
yaitu Islam yang fokusnya atau titik mula dan titik akhirnya adalah
teks. Sejarah Islam model ini panjang sekali. Bisa dikatakan bahwa dunia
Islam ini adalah dunia skriptualis sehingga ada benarnya Nashr Hamid
Abu Zaid mengatakan bahwa salah satu dari tiga peradaban adalah
peradaban teks, yaitu peradaban yang dikuasai Islam. Realitas ini telah
memancing wacana yang sangat kritis terhadap teks yang pada intinya
ingin mendekonstruksikan teks itu sendiri. Wacana yang paling populer
adalah wacana Mohammad Arkoun yang berguru pada ahli dekonstruksi Barat.
Islam Emansipatoris
Islam emansipatoris merupakan upaya
keluar dari dilema yang dihadirkan paradigma Islam liberal dan Islam
fundamentalis. Untuk itu, titik tolaknya digeser pada problem
kemanusiaan. Teks suci tidak dijadikan titik sentral perdebatan,
sebagaimana yang terjadi pada skripturalis, fundamentalis, ideologis
maupun modernis. Melainkan subordinat terhadap pesan moral, etik ataupun
spiritual. Teks suci itu sama sekali dipahami sebagai undang-undang,
melainkan sebagai sinar pembebasan.
Berangkat dari wacana tersebut, kini
fikih sebagai teks representasi ajaran Islam mulai tumbuh berkembang
yang mulanya sebagai paragdigma “kebenaran ortodoksi” menjadi paradigma
“pemaknaan sosial” di Indonesia khususnya. Pergeseran paradigma fikih
yang ortodoksi memandang sesuatu dengan hitam-putih menuju pemaknaan
sosial tidak lepas dari “realitas”. Meskipun fikih dalam pemaknaan
sosial adalah watak yang bernuansa ‘counter discourse’ dan pastilah rumit dalam menyikapi masalah, namun hal itu bagi fikih sendiri adalah suatu keniscayaan.
Berfikih Baru
Ada lima ciri menonjol dari paradigma berfikih baru. Pertama, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fikih untuk mencari konteks yang baru. Kedua, makna bermadzhab berubah dari bermadzhab tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, fikih dihadirkan sebagai sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan
metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan
budaya. Fikih dengan demikian, telah mengemban tugas baru sebagai
perangkat hermeneutika, dan karena itu memunculkan masalah metodologis
yang besar pula.
Dalam konsep hierarki yudisial (madzhab) ushul Imam Syafi’i misalnya, ‘teks suci’ (nash) merupakan sesuatu hal yang mutlak, sehingga realitas sosial harus tunduk pada nash, hanya dapat ditembus denga metode qiyas.
Namun bukti bahwa faktor sosial budaya, di samping faktor kapasitas
keilmuan seorang mujtahid, memberikan pengaruh pada Imam Syafi’i
sehingga muncul adanya Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Bagi kalangan “penjaga ortodoksi” Syafi’iyyah, munculnya term-term baru, seperti maqashid asy-syari’ah, merupakan term yang relatif asing. Term itu diperkenalkan oleh Asy-Syatibi seorang ulama fikih dari Andalusi Spanyol, mujaddid abad ke-8 H./14 M. Dalam rumusan asy-Syatibi, Maqashid asy-Syari’ah sebagai tujuan syari’at adalah “menjaga lima hal” (dharuriyat al-khams): pertama, melindungi agama (hifzh ad-din). Kedua, melindungi jiwa (hifzh an-nafs), yang diketahui dari kehalalan makan dan minum, serta diberlakukannya hukum diyat dan qishash untuk tindak pidana penyerangan dan pembunuhan. Ketiga, melindungi kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl),
seperti dianjurkannya pernikahan dan ditetapkannya hukum memelihara
anak, serta larangan kerasperbuatan zina berikut penerapan sanksi atas
pelanggarannya. Keempat, melindungi akal (hifzh al-‘aql), seperti anjuran makan makanan yang sehat dan larangan penggunaan muskirat (barang yang memabukkan). Kelima, menjaga harta benda (hifzh al-mal), seperti kewenangan melakukan mu’amalah dan larangan pencurian.
Kontekstualisasi Pemaknaan Sosial
Pada masa pembangunan, kontekstualisasi
Alquran yang tertuang dalam teks-teks fikih sangat penting untuk
diimplementasikan dalam berbagai bidang khususnya sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Dengan begitu nuansa fikih emansipatoris dapat
dirasakan dalam problematika kontemporer, misalnya larangan mendekati
zina yang dikontekstualisasikan dalam pencegahan HIV/AIDS dan penanganan
prostitusi. Usaha mengentaskan kemiskinan melalui dakwah (motivasi) bil hal
terhadap kaum duafa yang mempunyai implikasi dakwah pembangunan untuk
menumbuhkan swadaya masyarakat agar terciptanya kemandirian ekonomi.
Profesionalisme zakat pun perlu sorot agar menjadi kekuatan yang
bermakna, melalui bagian zakat untuk sabilillah bisa di-tasharruf-kan (digunakan) untuk beasiswa pendidikan, membangun sekolah, masjid, jalan, jembatan dan sebagainya.
Di ranah politik pula, agar terciptanya
stabilitas nasional, umat perlu memahami subtansi demokrasi yang
menitikberatkan pada partisipasi dalam kaitannya tentang hak serta
kewajiban sebagai warga negara. Jika umat sudah sadar akan hal itu,
deskriminasi kelompok, kekerasan hingga pelecahan perempuan dan anak,
perdagangan manusia, (tidak mustahil) akan sepi dari pemberitaan di
media massa.
Pada akhirnya, fikih emansipatoris
berupaya mengatasi masalah kemasyarakatan yang kompleks, yang merupakan
masalah kehidupan yang penting dalam pandangan syari’at Islam yang
berarti memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas
kewajiban mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-‘ammah).
Artikel ini meraih juara 1 dalam Lomba Artikel yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), Mei 2014.
Oleh: Muhammad Zidni Nafi’
Ketua CSSMORA UIN SGD Bandung Periode 2013-2014
Alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus
Komentar