Oleh:
Moh.Fathurrohman
Pesantren dan Karakteristiknya
Di
zaman yang (Insya Allah) modern ini, kita telah merasakan uforia dunia yang
terus maju sebagaimana yang kita amati saat ini. Sehingga pendidikan menjadi
salah satu faktor terpenting yang harus kita dapati dan jalani.
Mengingat
hal itu, banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang menjadi fasilitator bagi
para penuntut ilmu, mulai yang dianggap tradisional hingga modern. Dan
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikategorikan dalam bentuk tradisional.
Meskipun begitu, yang terlihat sekarang ini lembaga pendidikan pesantren sendiri
sedikit demi sedikit mulai mengalami penurunan peminatnya. Entah mungkin anggapan
bahwa keluaran pesantren itu hanya pintar dalam masalah agama dan belum jelas
nantinya mau jadi apa (pekerjaan). Bisa jadi, pendidikan di pesantren dianggap
kurang maju dibandingkan lembaga-lembaga pendidikan modern yang lebih
sistematis dan jelas output-nya sebagai pekerja professional.

Pesantren dan Karakteristiknya
Zamakhsyari
Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari.
Terlepas
dari hal itu, yang jelas ciri-ciri umum keseluruhan pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan
kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang. Bahkan, pada saat memasuki
millennium ketiga ini menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. (Zamakhsyari Dhofier 2011:
41).
Selain
belajar ilmu, pendidikan di pesantren juga sangat memperhatikan akhlak dan mencegah
maksiat. Hal ini terlihat betapa ta’dhim-nya para santri pada para guru
mereka dan memulyakan kitab. Penempatan para santripun dipisah antara laki-laki
dan perempuan, baik untuk tempat tinggal maupun tempat belajar (meski di satu
majlis, tetapi ada tirai sebagai penutup) supaya santri lebih fokus belajar dan
mencegah maksiat.
Sebagaimana
nasihat Imam Waqi’ kepada Imam syafi’i dalam kitab Ta’lim Muta’allim:
“Aku (Imam Syafi’i)
telah mengadu kepada guruku Waqi’ tentang buruknya hafalanku, Beliau
menasihatkanku supaya meninggalkan maksiat, Beliau memberitahuku sesungguhnya
ilmu itu adalah cahaya, Dan sesungguhnya cahaya Allah itu tidak akan
dianugerahkan kepada mereka yang melakukan maksiat.”
Maka
tak heran bila mereka yang keluaran dari pesantren banyak yang memiliki ilmu
yang luas dan mampu terjun ke berbagai bidang. Seperti politik, sosial,
keilmuan, dan lain sebagainya. Meskipun pendidikan pesantren masih dipandang
tradisionalis dan terbelakang.
Dr.
Soetomo (founding father Boedi
Oetomo) dalam Polemik kebudayaan (tahun
1930-an) mengatakan: “Lihatlah buah dari
perguruan asli kita (pesantren) itu, coba bercakap dengan kiai-kiai itu,
sungguh mengherankan pada siapa yang berdekatan dengan mereka, logic mereka,
pengetahuan mereka yang didapati dari buku-buku yang dipelajari mereka,
pengetahuan yang sungguh ‘hidup’. Janganlah orang memandang ‘cara mengaji’ saja
yang oleh beberapa debaters dipandang buruk itu. timbanglah juga semua
keuntungan dan kerugian yang didapati secara perguruan pesantren itu dan yang
didapati secara Barat dan lazim waktu ini, barulah orang mendapat bandingan
yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya keluaran pesantren
dengan orang didikan cara yang lazim sekarang. Orang akan heran bahwa mereka
yang disebut pertama (orang yang hanya keluaran pesantren) biasa memasuki semua
lapangan pekerjaan, biasa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan
bersifat merdeka, sedangkan angan-angan anak-anak zaman sekarang hanya akan
mencari pemburuhan [yakni sebagai pegawai administrasi atau kuli yang di
gaji-AB], kebanyakan.”
Jadi
menurut hemat penulis, jelaslah bahwa hasil pendidikan pesantren itu tidak
perlu diragukan lagi. Meski terkesan tradisional, tetapi kesungguhan mereka
dalam mencari ilmu mampu memulyakan dan meningkatkan derajat mereka. Oleh karena itu tidak ada salahnya bila pendidikan pesantren menjadi bahan lirik-an untuk meningkatkan kualitas pendidikan generasi yang leih baik.
Penulis
adalah santri tak berpangkat dari alumni Ponpes Nurul-Anwar,
Kembang-Dukuhseti-Pati, Jawa Tengah. Selain itu penulis juga masih sangat
mengharapkan bimbingan untuk terus menggoreskan kaya lewat tinta-tinta harapan.
Komentar