Oleh: Muhammad Nasruddin
Penghijauan
selama ini hanya terlaksana oleh lembaga negara dan para pengusaha. Pelaksaan
tersebut salah satu tanggung jawab mereka sebagai manusia bertanggung jawab dan
yang terekam pada umum. Tetapi mereka hanya bagian kecil manusia peduli yang
mendedikasikan diri demi makhluk bumi yang mulai acuh dengan kebutuhan
tersebut. Dalam hal ini, penghijuan tidak diartikan sebatas reboisasi atau
cagar alam, yakni segala hal yang menunjang kebaikan keseimbangan bumi, dari
hal sederhana yang minimal untuk keseimbangan diri sendiri.
Di
bumi belahan lain, masih banyak makhluk peduli akan tetapi belum tersalurkan
kepeduliannya dalam “penghijauan”, salah satunya adalah santri. Dari keseharian
yang sederhana dan lebur dalam masyarakat yang berlatar belakang pedesaan,
terkadang muncul harapan ikut berperan menyumbang tenaga sebagai bentuk
tanggung jawab mereka sebagai makhluk yang dekat dengan alam.
Timbul
pertanyaan, apa yang dapat disalurkan santri untuk penghijauan? Apa saja yang
menyokong semangat santri dalam pengpohonan? Sebagai agen of religion
yang berjiwa sosial dan berhati ‘hijau’, yang kemudian bisa lebih membantu
bangsa dalam mengembalikan semangat masyarakat peduli ‘hijau’ dari kedekatan
dan pengaruh santri di masyarakat.
Islam ‘Hijau’
Islam
adalah din (deen)-agama , jalan, dan atau cara hidup. Arti yang
terkandung dalam kata islam yakni kepasrahan terhadap kehendak Alah yang
Maha Esa. Sama dengan kata Dios dalam bahasa spanyol. Manusia yang
beraga islam disebut dengan muslim, muslimin meykini bahwa agama ini adalah
risalah terakhir yang diturunkan Allah sebagai penyempurna agama-agama
sebelumnya, dari segi ajaran –baik sosial, ekonomi, pengetahuan, dll.- dan
disertai kandungan yang lebih luas daripada agama sebelumnya.(Abdul Djamali,
1992: 9)
Disini
tidak akan menjelaskan kandungan yang lebih lebar tentang kandungnnya akan
tetapi lebih fokus dititik kepedulian terhadapa alam dan perhatian
kerusakannya. Sebagai rujukan pokok Al-Quran dan sabda baginda besar Nabi
Muhammad Saw. yakni Hadits. Penggalian keduanya dari sudut pandang
kesejahteraan alam.
Terkait
hal itu, umat islam mengikuti prinsip etis dalam hubungan mereka dengan alam.
Prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan islam seraya menjalankan
berkomitmen kepada lingkungan. Enam prinsip itu yakni;
Pertama, memahami
kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid)
Hidup dengan cara agama hijau, berarti faham tentang makhluk yang
berasal dari allah. rujukannya pemahaman ini pada ayat 3. Dialah yang Awal dan yang akhir yang
Zhahir dan yang Bathin[1452]; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S.
al-Hadid [57]: 3)
muslim faham ayat tersebut dan merenunginya, melihat yang paling
terkecil ataupun terbesar yang dibuktikan oleh pengetahuan, semuanya itu
ekspresi dari Tuhan dan ciptaan-Nya. Yang seluruhnya terdiri dari hal terkecil
dari yang tak dapat dibagi dan memiliki keterkaitan antar sesama. Hal tersebut
menunjukkan kekuasaan-Nya. Maka dari itu, muslim hijau harus faham keterkaitan
tersebut karena oleh tuhan yang sama dan ketersalingikatan antar makhluk-Nya.
Kedua, melihat
tanda-tanda tuhan (ayat) diseluruh
semesta.
“Tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” frasa ini banyak terdapat dalam al-Quran, di mana manusia yang
berpikirlah yang dapat menjangkau kebenaran eksistensi Alah Swt. alam yang
megah dan seluruh isinya berlangsungkan oleh-Nya dengan sempurna, namun bukan
berarti kerusakan jawab ini tanggung jawab-Nya. Kerusakan alam menjdi konsumsi
dan penikmatnya yakni manusia. Kembali hal tadi, hanya manusia yang berpikir
yang mencetak kesadaran hijau.
Kenapa yang berpikir? Ketika manusia berpikir mendalam tentang
alam, pasti mendapat dua pokok yang terdapat pada sisi lain dari alam yakni penciptanya dan prosesnya. Dalam
proses alam tersebut menuai hal positif dan negatif, yang perlu dikembangkan
dan dijaga, inilah hasil kecil dari berpikir alam sebagai tanda-tanda Allah.
Ketiga, menjadi
penjaga (khalifah) bumi.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Kutipan ayat tersebut bukti bahwa Allah telah mendelegasikan
manusia sebagai pemegang kekuasaan di bumi. Pemegangan tersebut mencakup
mengembngkan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bumi. kebijaksanaan Allah
menumpukan hal tersebut karena manusia adalah konsumtif terbesar dipermukaan
bumi, yang telah allah sediakan untuk manusia yang bersandang khalifah.
Peran muslim hijau, mengembalikan arti khalifah yang
sebenarnya. Pemimpin alam dari segala musuh yang menyerang dan memperbaiki dari
kerusakan yang dipimpinnya, keutuhan dari seluruh bagian alam dan simbiosis
mutualisme-nya.
Keempat, menghargai
dan menunaikan kepercayaan (amanah)
Mencontoh sifat nabi yang amanah, atau dapat dipercaya.
Perawatan alam adalah yang diamanahkan Allah kepada manusia untuk dijaga dan
dikelola dengan sebaik-baiknya. Dan dapat mengambil hasil bumi dengan
sebesar-besarnya akan tetapi amanah ini tidak begitu mudah, tidak semua
memegang amanahnya dengan benar yang lebih mementingkan kepuasan diri dan buta
realita efeknya.
Muslim hijau, selain contoh bijaksana, juga menjadi pengkaji
pertama dan pengawal pertama yang ada pada alam bumi ini. Sebagai penyeimbang
para manusia yang hanya bisa merusak tnpa tanggung jawab. Ketika amanah telah
dipegang erat kepercayaan Allah akan tetap dan makin menunaikan dari yang
diinginkan muslim tersebut.
Kelima, memperjuangkan
keadilan (‘adl)
Manusia adalah pancaran sifat Tuhan, semisal ‘adl. Sifat
pokok ini yang dipegang erat pemimpin yang bijaksana yang menciptakan keputusan
yang bijaksana pula. Adil dalam lingkungan berarti ramah dengan alam menolong
jika kerusakan.
Karena Allah yang paling bersifat adil dan Dialah yang paling
mencintai keadilan. Rahmatnya akan selalu disalurkan pada manusia yang adil melalui alam yang dikasihinya. (Sayid
Sabiq, 1994: 109) Tindakan hijau adalah keadilan yang utuh yang diaplikasikan
pada alam.
Keenam, Hidup
selaras dengan alam (mizan)
Inti kehidupan manusia berpusat pada kebutuhan besar yang
seluruhnya tersedia pada alam. Allah telah memberi contoh segala keseimbangan
dan kehebatannya pada alam, manusia hanya memelajari dan mengaplikasikan
kembali pada alam pula. Alam menjadi guru sekalian objek utama yang paling
ringan dan tersulit. Dari alam terdapat
kemanfaatan dan juga terdapat potensi
keburukan terbesar.
Muslim hijau, dalam tindakan kesehariannya menyelaraskan hati,
tindakan, tindakan, dan kemanfaatan, dalam sudut pandang sekarang tertuju pada
kasih sayang dan rasa menghargai terhadap alam dan seisinya.
Membangun kepedulian ‘hijau’
Kepedulian
awal umumnya santri dibangkitkan dari empat
faktor utama.
Pertama, teks
agama Islam.
Santri yang biasa dikatakan makhluk sami’na wa atho’na (patuh)
atau makhluk kitab suci, menggambarkan kepatuhannya secara total pada
Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Kutubul Ulama, baik tekstual dan kontekstual.
Namun disalah pahami jikalau santri umumnya mengartikan teks suci sebatas
syariat, ibadah, dan ketuhanan. Yakni mendominasikan arti tersebut dalam
kesehariannya, walaupun itu tidaklah salah.
Dari hal itu, dimulai dari rasa kepedulian yang didukung sisi lain
dari teks agama yang kurang terjamah dari pemahaman pengetahuan santri, yakni
sosial dan dalam hal ini ‘peduli hijau’ atau peduli penghijauan alam. Jika
pengetahuan pembahasan dalam keilmuan pesantren diluaskan dalam tekstual suci
tentang penghijauan atau perawatan alam, sangat begitu banyak yang mendukung
keberlangsungan alam sebagai salah satu agen of rahmatan lil alamin.
Untuk konteks kerusakan alam yang telah diperbuat manusia, telah
jauh hari diungkap dalam Al-Qur’an: Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).(Q.S. al-Rum [30]: 41).
Ayat tersebut gamblang menujukkan kepada kita -terutama santri-
permasalahan di permukaan bumi dan diperlukan tindakan ke depan, bentuk
penanggulangan dan perbaikan oleh kalifah fi al-ardh (manusia).
Permasalahan yang menjadi tanggung jawab bersama untuk kepentingan semua.
(Ibrahim Abdul-Matin, 2012: 28)
Masih terdapat banyak lagi, tekstual suci yang secara kontekstual
mengharuskan manusia ikut andil peduli alam, dan terutama umat Islam –khususnya
kaum santri- sebagai pemegang teks suci agama Islam yang memiliki kebenaran
mutlak.
Kedua, lingkungan
pesantren ‘hijau’.
Sangat banyak lingkungan pesantren besar yang bertatanan lingkungan
berantakan, acuh kebersihan minim pepohonan. Sebagai lingkungan yang menjadi
tempat berdomisili santri, lingkungan –interaksi manusia, bangunan, tatanan
sosial- pesantern harus dibingkai dengan kesadaran awal untuk mengubah diri
santri.
Bingkai tersebut dimulai dari sebuah aturan yang tidak bersifat membebani,
seperti mewajibkan setiap santri menanam satu pohon dalam lingkungan pesantren
atau bisa dengan menata lingkungan yang bersih dan asri. Langkah tersebut
menjadi jalan awal menciptakan prinsip dasar santri akan menghargai keindahan
alam dari efek yang merusaknya.
Menciptakan bangunan dan lingkungan yang penuh kekayaan alam yang
disertai dengan slogan-slogan manis tentang cinta alam. Dari terbiasa menjadi
kebutuhan yang dapat menghantarkan santri yang berjiwa ‘hijau’ dan peduli
lingkungan.
Ketiga, Pengasuh/kyai
‘hijau’
Dalam dunia pesantren sangat dipengaruhi oleh para pengasuh atau
kyai yang memimpin dipesantren. Di mana setiap tutur dan nasehat menjadi
doktrin penting bagi seluruh santri. Memanfaatkan peran tersebut, kyai memiliki
peluang besar dalam memengaruhi santri dari apa yang diinginkannya. Maka dari
itu, tutur kyai menjadi lidah yang tepat menyalurkan cinta lingungan dalam
membentuk santri ‘hijau’ dari pikiran, rasa, dan tindakan.
Akan tetapi, masih tidak sedikit para kyai pengasuh pesantren kurang
menegaskan hal penting ini. Fakta ini sangat disayangkan, karena penilaian
zaman milenium sekarang, makhluk yang bermanfaat adalah makhluk yang
menyelesaikan suatu persoalan yang tengah dihadapi manusia sekarang, untuk
mengangkat nama pesantren manfaat kyai perlu diangkat kembali kepedulian
lingkungan melalui tangan-tangan santri ‘hijau’
Keempat, organisasi
yang digeluti mayoritas santri, yaitu NU ‘hijau’
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, NU mempunyai peran besar
dalam menunjang kecintaan mayoritas umat bangsa ini akan cinta
‘hijau’(lingkungan). Apalagi, NU ditompang oleh kaum sarung yang berdasi, yang
dari lidahnya anggota NU siap bertindak.
Fokus peran NU akan ‘hijau’ lebih dikerahkan bagi kaum muda-IPNU,
IPPNU, GP-ANSOR-yang kelak menjadi kader penerus bangsa dan generasi pembawa
‘NU’ yang ‘HIJAU’. Walaupun tidak hal yang mudah, peluang ini menjajnjikan
kesejahteraan universal sebagai lembaga rahmatan lil alamin.
Peluang ini, dapat dikembangkan melalui lembaga pendidikan yang
berlebel ‘NU’ sebagai pencerah dan nasehat demi dedikasi bangsa untuk negara,
bahkan dunia. Selain itu, dapat diawali oleh nama pemegang NU terkemuka, yakni
para ulama, sarjana, santri, dll.
Jika semangat ini telah di-iya-kan atau bahkan diapresiasi penuh
oleh NU, akan dapat menjadi ujung tombak dari kemauan para kaum sarung
-terutama santri- yang sebelumnya hanya dikiaskan buta alam.
Pesona warga sarung berhati ‘hijau’
Output kesadaran
kolektif tentang lingkungan, membuktikan warga NU khususnya santri memiliki
kepekaan mendalam terhadap alam dari inti keber-agama islam-an santri yang
mengamalkan kontekstualnya untuk peran makhluk sosial. Pengaruh baiknya yang
murni terkerahkan pengmalan dan penglaman keilmuan Islam yang murni.
Dan pada akhirnya, Pengerahan tersebut menutupi anarkisme fundamentalisme yang ‘tak
menghangat mendingin’, mengganti kefanatikan ego menjadi kelenturan rasa.
Dimulai dari kepedulian yang terkecil bertahap menuju yang super social.
Menyelesaikan persoalan dari jalan lain yang melintang adanya.
Inilah harapan Islam, Nabi bersabda “Sayangilah yang ada di bumi niscaya semua yang ada di langit akan
menyayangi kalian”. Menanam, menjaga, merawat,
dll. Adalah bukti khidmat atau ibadah lain untuk mendekat dan berharap rahmat
yang sebenarnya.
Semuanya bukanlah mimpi
tapi masih menjadi gagasan suci yang lama adanya. Persoalan akan selamanya
menjadi masalah, dan permasalah terbesar adalah alam yang akan diwariskan
kepada anak dan cucu manusia hingga berakhirnya masa. Santri merupakan tokoh
yang sekarang memiliki kedekatan lebih dengan masyarakat Indonesia, dan karena Indonesia
paru-paru dunia, maka dari itu dunia berharap melalui santri untuk mewarnai
persepsi keilmuan untuk kemanfaatan yang universal.
Penulis adalah alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Mahasiswa
PBSB Angkatan 2014 Jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
dan anggota CSS MoRA (Community of Santri Scholars
of Ministry of Religious Affairs).
Komentar
Hileud dong, hehehe......,,,,,
Good,,👌✊
Hileud dong, hehehe......,,,,,
Good,,👌✊
Mari dukung Greenpack untuk mewujudkan indonesia yang lebih hijau. Informasi lebih lanjut tentang Greenpack dapat anda temukan di sini http://www.greenpack.co.id/