Oleh:
Syifa’urrohmah
Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial karena mereka tidak akan bisa hidup tanpa
bantuan orang lain. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sudah tidak
memperdulikan sesamanya karena telah menyatu dengan Tuhannya, apakah orang
tersebut sudah tidak disebut sebagai makhluk sosial lagi? Dan apabila benih padi saja bisa
menghasilkan butir padi, mengapa kita yang berasal dari benih Ilahi tidak bisa
melahirkan sifat ke-Ilahi-an? Tentu saja bisa.
Namun, yang menjadi persoalannya sekarang adalah bagaimana cara kita menemukan
Tuhan dalam diri kita?
Di
sisi lain, Tuhan seperti bersembunyi pada hukum kausalitas yang Dia ciptakan
sendiri, melaknat dan memberi azab kepada setiap hambanya yang membangkang
dengan alasan tidak taat pada aturan. Begitu banyak aturan-aturan yang mengikat
dalam sebuah lembaga yang disebut agama. Mungkin itu juga yang menjadi salah
satu penyebab seseorang menjadi atheis, mereka muak dengan segala aturan yang
menurut mereka mengikat, membebaskan, namun tidak masuk akal. Mereka lebih
memilih bertuhan
pada rasio, yang lebih dapat meyakinkan, dan bisa dipertanggung jawabkan.
Kadang
akupun merasa Tuhan sangat dekat denganku, namun sering pula aku merasa Tuhan
sangat jauh. Dan hampir bisa dipastikan aku selalu meminta ampun pada Tuhan
dalam setiap sujudku. Tapi mengapa Tuhan seperti tak mendengar ketika aku
meminta pada-Nya,
semua doaku seperti tersangkut di awan, terkikis oleh terpaan angin, dan
hilang. Engkau begitu banyak memberiku cobaan, masalah, hingga kerap kali aku
jatuh dan tersungkur, tak senangkah Engkau bila melihatku tersenyum? Sebenarnya,
apakah yang Engkau fikirkan tentang diriku, apakah Engkau ingin membuatku kecewa,
dan ragu terhadap kuasa-Mu?
Namun,
apabila seseorang mempunyai keyakinan yang kuat terhadap Tuhan dan agama yang
mereka peluk, mereka tidak akan mampu tergoyahkan oleh apapun. Seperti orang
autis, yang memiliki dunia sendiri. Mereka hanya memandang dunia sebelah mata,
sebagai tempat untuk hidup. Tujuan mereka hanya satu, bercinta dan mencoba
melebur bersama Tuhan. Dan apabila itu sudah terjadi, maka apa yang mereka
katakan adalah ucapan Tuhan, dan apa yang mereka lakukan adalah tindakan Tuhan.
Sekarang
aku mencoba berpikir lebih keras, mungkin selama ini akulah yang terlalu egois,
kurang peka terhadap ujianmu yang eksistensinya merupakan sebuah perwujudan
atas kepedulian Tuhan terhadapku. Karena dengan adanya ujian itu aku menjadi
pribadi yang lebih kuat, dan mungkin ini semua juga akibat dari ulahku sendiri,
yang meskipun terus bersujud pada-Mu, namun tak jera pula aku mengulangi
perbuatan hina yang Tuhan larang. Sempat terlintas dalam benakku untuk
mengatakan “Tuhan, apabila aku masih melakukan hal-hal yang tidak Engkau
ridhai, tak apalah Engkau acuhkan aku, tak menerima taubatku. Namun, ketika
segala nafsuku sudah berada dalam genggamanku, aku mohon pada-Mu, tolong dengarkan
segala keluh kesahku.”
Aku
akui pula, aku tak pernah serius mencari Tuhan, apalagi sampai berharap dapat
menemukan Nya. Aku hanya ingin berleha-leha didunia yang fana ini, sambil
bermimpi rahmat dan hidayah Tuhan menghampiriku. Ketika aku beribadah pada
Tuhan, yang harusnya berfungsi sebagai alat komunikasi antara makhluk dan sang
khalik, justru tujuanku masih terbalik 180 derajat yaitu, “Untuk menggugurkan
sebuah kewajiban, agar sudah ada yang aku pertanggung jawab kan apabila kelak
di akhirat,” pikirku. Apakah dengan semua ini, tindakan dan semua yang
kupikirkan aku masih bisa disebut sebagai hamba yang taat dengan perintah-Mu atau mendurhakai-Mu?
Penulis
adalah santri alumni Ponpes
Raudlatul Mubtadi’in, Pati,
Jawa Tengah. Mahasiswi PBSB Angkatan 2013 Jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
Komentar