Langsung ke konten utama

Mendeteksi Benih-benih Radikalisme Agama di Kampus

Oleh M. Zidni Nafi’
Nampaknya isu radikalisme menjadi salah satu tranding topic media massa yang hingga kini mampu menyedot perhatian luar biasa dari masyarakat, bahkan kini Pemerintah sekalipun. Hal ini tidak lepas dari fenomena Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) hingga menjadi isu internasional.

Radikalisme: Atas Nama Agama
Sudah kita ketahui bersama bahwa radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau ekstrem. Saya rasa, apabila term “agama” –khususnya dalam Islam— disandingkan dengan term “radikalisme” bisa dimaknai sebagai bentuk radikalisme seseorang/kelompok yang membawa (mengatasnamakan) prinsip atau ajaran Islam untuk melakukan perubahan atas situasi maupun kondisi dalam sosio-politik yang dianggap tidak sesuai dengan pendapat alirannya.
Apabila dianalisa dengan seksama, aksi radikalisme agama yang dilancarkan oleh ISIS bukanlah yang kali pertama terjadi. Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa sepanjang sejarah peradaban Islam, peperangan atau kekerasan seringkali (ironisnya) agama Islam dijadikan alasan untuk melancarkan tindakan tersebut.
Lihat saja, sudah menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia, terorisme yang muncul pada awal-awal abad 21 menjadi noda hitam yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah itu sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Meskipun aksi terorisme mendapat kecaman dari berbagai pihak, tetapi ada juga individu maupun kelompok di luar jaringan terorisme yang senada bahkan mengapresiasi (mendukung) aksi teror dengan modus atas nama agama tertentu untuk menghakimi, menghukumi, dan memusnahkan kelompok yang dianggap salah. Padahal hakekat agama diturunkan sebagai misi ketuhanan untuk menegakkan keadilan, kedamaian, kebahagiaan manusia.
Kampus dan Syiar Radikalisme
Secara garis besar, saya membagi faktor radikalisme agama terjadi pada tiga aspek; (1) paham keagamaan seseorang yang cenderung fundamental, fanatik aliran, tekstual dalam membaca sumber hukum Islam dan konservatif dalam menghadapi perkembangan zaman; (2) kondisi sosial yang semakin berubah, berbagai bentuk keragamaan –meliputi pendapat, sikap, tindakan— masyarakat baik itu dari segi agama, aliran-organisasi keagamaan, suku, ras, dan sebagainya; (3) kebijakan politik yang timpang karena kepentingan-kepentingan elit politik yang tidak memihak rakyat secara keseluruhan. Nah, ketiga aspek individu-agama, sosial dan politik ini ibarat segitiga yang satu sisi dengan sisi yang lain saling berkaitan..
Radikalisme agama secara umum dapat muncul di mana pun dan kapan pun. Secara khusus, ternyata benih-benih radikalisme agama dapat muncul di kampus yang notabene merupakan lingkungan akademis/lembaga pendidikan. Garis besarnya terdapat empat faktor. Pertama, kultur lingkungan kampus. Kultur biasanya dipengaruhi oleh letak geografis, elemen mayoritas penduduk, pemegang kebijakan, bahkan ideologi yang digunakan. Komponen tersebut akan sangat berpengaruh terhadap segala hal yang ada di dalamnya, baik itu karakter seseorang, aliran kelompok, kebiasaan dalam menyikapi suatu masalah, apakah itu ditangani dengan cara yang hukum ataukah melalui tindakan (adat) yang mengandung subtansi radikalisme.
Kedua, kurikulum yang diterapkan. Benih radikalisme dapat bersumber diantaranya melalui disiplin ilmu atau matakuliah yang disajikan bermuatan ajaran atau pemikiran yang melegitimasi tindakan radikal sehingga mempengaruhi mahasiswa sebagai subjek dan objek pemikiran.
Ketiga, organisasi –intra maupun ekstra— yang diikuti oleh mahasiswa. Setiap organisasi kemahasiswaan tentu setidaknya mempunyai unsur anggota, visi, misi, sifat dan dasar dalam berorganisasi. Setiap unsur tadi, sangat berpengaruh terhadap program kerja maupun paradigma mahasiswa (anggota) terhadap segala hal, baik itu keagamaan, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Keterkaitan inilah yang dapat menelurkan benih-benih radikalisme di kampus. Tidak heran apabila ada kampus (Islam) yang terdapat aksi sekelompok mahasiswa/organisasi yang mendiskriminasi terhadap sesama mahasiswa dari kelompok minoritas yang dianggap nyleneh, bahkan sesat. Yang paling nampak justru media –misal website, buletin, poster— dari organisasi-organisasi kemahasiswaan yang cenderung melakukan propaganda atas nama Islam. Propaganda seringkali berbentuk hate speech (syiar kebencian) terhadap kelompok/aliran tertentu, kritik Pemerintah yang ajakannya menjurus untuk ‘menggulingkan’ dasar negara dengan sistem yang lain. Akibatnya, tidak sedikit yang terbawa arus kelompok yang meragukan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia kita yang berlandaskan Pancasila.
Keempat, pengajar (dosen). Disamping melaksanakan tugas mengajar, tidak menutup kemungkinan seorang dosen juga membawa misi ideologi dalam menyampaikan materi kepada mahasiswanya. Bila ideologinya berimplikasi baik (maslahah) untuk mahasiswa dan tidaklah masalah, tetapi jika mengandung paham-paham radikal ini yang berbahaya.
Akar Radikalisme Kaum Muda
Faktor khusus dalam diri kaum muda (mahasiswa) sehingga mereka menjadi radikal. Pertama, soal mental health. Kesehatan mental yang ada pada diri kaum muda sebagai posisi yang sangat rentan, sehingga gampang mengalami guncangan jiwa (depression) yang disebabkan oleh faktor dalam hidup. Depresi keagamaan akal muncul secara intrinsik sebagai religious involment yang kemudian berkembang menjadi public involment dalam keagamaan.
Kedua, faktor ekonomi yang timpang yang menyebabkan kesenjangan ekonomi yang akan menciptakan social greavences (kegalauan dan kecemburuan sosial). Kondisi ini mendorong seseorang melakukan protes.
Ketiga, kondisi sosial politik yang berpengaruh pada adanya perubahan perilaku dan bentuk organisasi keagamaan. Bentuknya berupa aktivitas perlawanan. Perlawanan akan semakin keras jika kondisi sosial politik yang dihadapi semakin tampak dilihatnya tidak memihak kepada kelompoknya, apalagi jika sebagai kelompok mayoritas.
Keempat, religious commitment dari pemahaman keagamaan. Agama tidak bisa dilihat dalam perspektif antara profan dan sakral. Seluruh dimensi keagamaan dianggap sebagai sesuatu yang sakral (Zuly Qodir, 2012: 93-98).
Dari pemaparan faktor-faktor serta argumentasi di atas, dapat dicermati bahwa benih-benih radikalisme agama memang benar-benar berpotensi tumbuh di lingkungan kampus. Apabila tidak ditanggulangi atau diimbangi dengan pemikiran atau gerakan ajaran Islam yang toleran, inklusif dan komprehensif, maka benih-benih tersebut akan berkembang meluas di masyarakat bahkan menjadi gerakan nasional.
Penulis adalah Mantan Ketua CSSMoRA UIN SGD Bandung 2013-2014, Bidang Pers Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJP) Tasawuf Psikoterapi dan Senat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Koordinator Jaringan Mahasiswa Lintas Agama (Jarilima) kota Bandung.

Dimuat di Tabloid Suaka (Suara Kampus) UIN SGD Bandung, edisi April 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk, Cari Tahu Perbedaan Psikoterapi Barat dan Psikoterapi Islam

Setelah kita mengetahui pengertian psikoterapi, tentunya dalam pemikiran kita muncul berbagai macam pertanyaan terkait pembahasan tersebut.  Nah, pada kali ini akan membahas mengenai perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam. Apa yang menjadi topik perbedaan antara keduanya? Sudut pandang psikoterapi dari mana yang efektif untuk digunakan? Mari kita cermati sama-sama  Psikoterapi ialah perawatan yang menggunakan alat, teori dan prinsip psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dan seorang ahli menciptakan hubungan yang profesional dengan pasien. Sedangkan psikoterapi Islam ialah teknik penyembuhan/penyelesaian masalah kejiwaan/mental dengan sentuhan spiritual yang menggunakan metode Islami seperti zikir, penerapan akhlak terpuji dan lainnya berdasar Al-Qur’an dan hadits.  Jika diteliti dari pengertian keduanya, tentu sudah terlihat berbeda bukan? Perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam: 1. Objek Utama Psikoterapi Dalam pandangan psikologi

Hukum Membaca Al-Qur’an Lewat Mushaf Ketika Shalat

Pernah suatu ketika di masa liburan saya di Jakarta, saya shalat berjama’ah di salah satu masjid yang ada di perumahan Jakarta, pada saat itu ada pemandangan asing yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya, yaitu sang Imam membaca surah sambil melihat kepada mushaf Al-Qur’an, akhirnya timbul keinginan di hati saya untuk mengetahui apa " hukumnya membaca dari mushaf Al-Qur’an ketika shalat " . Menurut rangkuman yang saya tulis berdasarkan referensi dari kitab Fatawa Syabakah Al-Islamiyah , ada 5 dari sekian banyak fatwa yang saya ambil, berkaitan mengenai masalah tersebut antara lain : 1.      Tidak masalah bagi orang yang ingin mengkhatamkan Al-Qur’an untuk membacanya dalam keadaan shalat dan di selain shalat Pertanyaan:     “Saya mencoba untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, pertanyaanya apakah saya boleh untuk membaca Al-Qur’an dari mushaf di dalam keadaan shalat Qiyamul Lail? Pertanyaan kedua apakah boleh saya menghadiahkan pengkhataman Al-Qur’an ini untuk kedua orang tua sa

Kisah Nyata Satu Gereja Masuk Islam

  بسم الله الرحمن الرحيم 22 – Februari - 2006 Suatu hari ada seorang pemuda Arab yang berkuliah di Amerika, dia adalah seorang muslim yang taat, yang Allah beri nikmat berupa pengetahuan akan agama Islam yang mendalam, dia juga juru dakwah Islam di Amerika. Ia memiliki seorang kawan berkeyakinan Nasrani di sana, hubungan mereka sangatlah akrab, dengan harapan semoga Allah memberikannya hidayah agar masuk islam. Suatu hari mereka berjalan-jalan melintasi perkampungan Amerika, di dalam perkampungan itu terdapat gereja, teman Nasrani nya memintanya agar turut masuk ke dalam gereja, awalnya ia menolak, namun karena terus didesak oleh temannya ia pun ikut masuk dan duduk di salah satu bangku dengan hening. Sebagaimana kebiasaan umat Nasrani pada umumnya, ketika pendeta masuk kedalam gereja, mereka serentak berdiri untuk memberi penghormatan, kemudian kembali duduk. Saat sang pendeta berdiri melihat ke arah para hadirin dia agak terbelalak dan berkata : ”Di tengah-tengah kita ada seo