Oleh : Atsania Zahroh
Pagiku dirundung pilu. Alam seolah-olah marah padaku . Apa salahku? Apa saya terlalu cuek. Dia meninggalkanku, dia lebih memilih orang lain. Aku sudah capek jadi secret admirer.
“Kamu sudah menyapu rumah belum, nak?, ini masih ada sampah yang tercecer”, tanya Ibu
“Iya Ibu, Ibu jangan menambah rasa jengkelku”, ucapku
“Ibu tanya baik-baik, Nak”, jawab Ibu
“Ibu perhatian tapi bawel”, jawabku ketus.
Ini memang masa mudaku. Tapi aku tak pernah merasa semesta mendukungku. Aku juga ingin menjadi remaja seperti yang lain. Teman-teman asyik main keluar kesana-kemari, ditambah lagi udah berpasang-pasangan. Aku pikir ini normal, tidak ada yang salah.
Hari-hariku tambah buruk dengan omelan ibu yang selalu berbekas di telingaku. Tapi telingaku sudah terlatih dengan hal seperti itu. Ibuku penyayang, sampai-sampai tak pernah lupa mengingatkanku untuk membuang sampah ditempatnya. Sunggu Ibu yang luar biasa.
**
Jalan di siang bolong membuatku haus sampai keringat bercucuran. Inilah sebuah perjuangan. Aku sedang asyik melamun sambil jalan gontai, tiba-tiba ada yang menepukku dari belakang.
“Apaan sih”, sontak latah karena sangking kagetnya
“Kaget ya nak. Sendirian aja, terus kenapa mukanya dilipat? Sepertinya panas terik, tak ada mendung”, tanya ustadz kampung
“Apaan sih pak ustadz, jangan sok perhatian gitu deh”, tukasku
“Subhanallah, jawabannya ketus sekali. Saya hanya menyapa. Bagaimana kalau malam nanti kamu hadir di panti asuhan dekat masjid? Semoga bisa merubah lipatan di wajahmu menjadi senyuman. Saya pamit dululah, jangan lupa datang ya. Assalamua’alaikum”, jawabnya ramah dan langsung berjalan meninggalkanku
“Ustadz ga jelas. Oke, saya akan datang nanti malam. Tapi kalau membuatku tambah jengkel, awas ya”, gerutuku dalam hati dan tanpa membalas salamnya.
Sepanjang jalan aku memikirkan ajakan dari ustadz. Ga jelas banget, tiba-tiba meminta saya datang ke panti asuhan. Sok perhatian lagi. Semakin ga karuan pikiranku, dipenuhi dengan hal-hal yang ga jelas.
**
Malam hari...
“Ya Nabi salam alaika, Ya Rasul salam alaika,...”, grup hadroh masjid menggemakan sholawat di aula panti asuhan.
Semua anak-anak panti berkumpul di aula. Tetangga sekitar juga turut serta di malam yang semarak akan salawat yang berkumandang. Menurutku ini acara gema salawat. Tapi aku masih bertanya-tanya. “Apa hubungan kedatangan saya dengan acara ini?”, tanyaku dalam diam. Lamunanku disadarkan pak ustadz ketika aku sibuk dengan kebingungan dalam benakku.
“Sepertinya malam ini kamu belum tersenyum. Kenapa? Apakah kamu tidak menyukai salawat?”, tanya ustadz
“Saya senang, bahkan setiap hari shalawat selalu berkumandang di radio milik ibuku”, jawabku panjang lebar
“Nah, bagus itu. Sekarang kita duduk, acara sepertinya akan dimulai. Pak Yai sudah hadir. Nanti kamu juga tau. Kalau mau cerita, nanti kita terusin deh”, ajak ustadz.
Saya hanya mengikuti apa yang dikatakan ustadz. Saya yakin saja, kalau ustadz memiliki niat baik. Semua anak panti, tetangga, dan tamu undangan merapat. Begitu khidmat acara malam itu. Ternyata malam yang semarak itu adalah malam perayaan Isra’ Mi’raj. Mengenang peristiwa ketika Nabi hijrah dari masjidil haram ke masjidil Aqsa, dan naik lagi menuju Sidratu Muntaha. Dan beliau membawa pesan untuk ummat muslim, agar melaksanakan kewajiban salat lima waktu. Tak terasa air mataku menetes. Aku bingung dengan perasaanku, aku bahagia malam itu tapi kenapa air mata menetes. Saya merasa bahagia bisa berkumpul dan menggemakan salawat, memuji Nabi seluruh Alam, Nabi Muhammad Saw.
“Kenapa kamu menangis? Ternyata saya salah, malam ini belum bisa membuatmu tersenyum”, sesal ustadz
“Hiks..hiks (tangisku keras), saya bahagia ustadz. Ini air mata kebahagiaan. Terima kasih ustadz. Ternyata ini yang saya rindukan. Saya merasa bodoh, ketika dihadapi permasalahan yang sepele. Hanya karena dicuekin orang yang saya kagumi, saya menangis. Sedangkan manusia yang dikagumi seluruh umat, tapi tidak pernah pilih kasih dan meninggalkan umat yang mengagumi, walau yang mengagumi sering lalai. Beliau tetap ada dan membekas dihati pengagumnya. Ya Allah dan Rasul-Nya, maafkan ummat-Mu yang lalai ini”, ucapku panjang dengan napas tersengal sengal.
“Saya paham. Kamu anak sholehah, saya yakin. Saya kasih tau ya, setiap kamu bersalawat Nabi Muhammad pasti datang dan hadir di majlis yang disitu hamba bersalawat. Jangan takut dicuekin Beliau”, ledek ustadz.
“Ustadz...”, rengekku sambil tersenyum
“Alhamdulillah, sudah bisa tersenyum, tidak ada lipatan lagi diwajah manismu nak”, puji ustadz.
Perayaan Isra’ Mi’raj malam itu menyadarkanku. Sekarang sosok yang seharusnya saya idolakan dan kagumi adalah baginda Rasulullah Saw. Mengagumi teman atau suka memang fitrah dan wajar. Yang menjadi tidak wajar, jika menangis dan bersedih karenanya. Tidak ada perhatian dan sebagainya, itu hal yang lebih wajar. “Kamu akan menemui keajaiban dibulan selanjutnya. Tunggu di bulan Sya’ban dan kamu akan mencapai kebahagiaan yang luar biasa di Ramadhan nanti. Percaya lah. Tunggu Beliau atau undang Beliau. Okeyy!! ”, pesan wa ustadz kepadaku. Dan dibawah pesan tertulis:
Allahumma baariklanaa fii rajaaba wa sya’banaa wa ballighnaa ramadhaana
“Amalkanlah doa ini sampai di puncak kebagiaanmu yang akan datang. Spesial di bulan yang diistimewakan Allah. Semoga istiqamah ya”, kalimat terakhir pesan wa dari ustadz.
Setelah itu, aku menjalani hari-hariku dengan semangat. Bersenandung, bersalawat, memuji Rasulullah. Dan saya tidak sabar menunggu puncak kebahgiaan yang akan datang. Menunggu Rasul yang menyertaiku dipuncak kebahagiaanku nanti.
Crew BSO Orasi
Pagiku dirundung pilu. Alam seolah-olah marah padaku . Apa salahku? Apa saya terlalu cuek. Dia meninggalkanku, dia lebih memilih orang lain. Aku sudah capek jadi secret admirer.
“Kamu sudah menyapu rumah belum, nak?, ini masih ada sampah yang tercecer”, tanya Ibu
“Iya Ibu, Ibu jangan menambah rasa jengkelku”, ucapku
“Ibu tanya baik-baik, Nak”, jawab Ibu
“Ibu perhatian tapi bawel”, jawabku ketus.
Ini memang masa mudaku. Tapi aku tak pernah merasa semesta mendukungku. Aku juga ingin menjadi remaja seperti yang lain. Teman-teman asyik main keluar kesana-kemari, ditambah lagi udah berpasang-pasangan. Aku pikir ini normal, tidak ada yang salah.
Hari-hariku tambah buruk dengan omelan ibu yang selalu berbekas di telingaku. Tapi telingaku sudah terlatih dengan hal seperti itu. Ibuku penyayang, sampai-sampai tak pernah lupa mengingatkanku untuk membuang sampah ditempatnya. Sunggu Ibu yang luar biasa.
**
Jalan di siang bolong membuatku haus sampai keringat bercucuran. Inilah sebuah perjuangan. Aku sedang asyik melamun sambil jalan gontai, tiba-tiba ada yang menepukku dari belakang.
“Apaan sih”, sontak latah karena sangking kagetnya
“Kaget ya nak. Sendirian aja, terus kenapa mukanya dilipat? Sepertinya panas terik, tak ada mendung”, tanya ustadz kampung
“Apaan sih pak ustadz, jangan sok perhatian gitu deh”, tukasku
“Subhanallah, jawabannya ketus sekali. Saya hanya menyapa. Bagaimana kalau malam nanti kamu hadir di panti asuhan dekat masjid? Semoga bisa merubah lipatan di wajahmu menjadi senyuman. Saya pamit dululah, jangan lupa datang ya. Assalamua’alaikum”, jawabnya ramah dan langsung berjalan meninggalkanku
“Ustadz ga jelas. Oke, saya akan datang nanti malam. Tapi kalau membuatku tambah jengkel, awas ya”, gerutuku dalam hati dan tanpa membalas salamnya.
Sepanjang jalan aku memikirkan ajakan dari ustadz. Ga jelas banget, tiba-tiba meminta saya datang ke panti asuhan. Sok perhatian lagi. Semakin ga karuan pikiranku, dipenuhi dengan hal-hal yang ga jelas.
**
Malam hari...
“Ya Nabi salam alaika, Ya Rasul salam alaika,...”, grup hadroh masjid menggemakan sholawat di aula panti asuhan.
Semua anak-anak panti berkumpul di aula. Tetangga sekitar juga turut serta di malam yang semarak akan salawat yang berkumandang. Menurutku ini acara gema salawat. Tapi aku masih bertanya-tanya. “Apa hubungan kedatangan saya dengan acara ini?”, tanyaku dalam diam. Lamunanku disadarkan pak ustadz ketika aku sibuk dengan kebingungan dalam benakku.
“Sepertinya malam ini kamu belum tersenyum. Kenapa? Apakah kamu tidak menyukai salawat?”, tanya ustadz
“Saya senang, bahkan setiap hari shalawat selalu berkumandang di radio milik ibuku”, jawabku panjang lebar
“Nah, bagus itu. Sekarang kita duduk, acara sepertinya akan dimulai. Pak Yai sudah hadir. Nanti kamu juga tau. Kalau mau cerita, nanti kita terusin deh”, ajak ustadz.
Saya hanya mengikuti apa yang dikatakan ustadz. Saya yakin saja, kalau ustadz memiliki niat baik. Semua anak panti, tetangga, dan tamu undangan merapat. Begitu khidmat acara malam itu. Ternyata malam yang semarak itu adalah malam perayaan Isra’ Mi’raj. Mengenang peristiwa ketika Nabi hijrah dari masjidil haram ke masjidil Aqsa, dan naik lagi menuju Sidratu Muntaha. Dan beliau membawa pesan untuk ummat muslim, agar melaksanakan kewajiban salat lima waktu. Tak terasa air mataku menetes. Aku bingung dengan perasaanku, aku bahagia malam itu tapi kenapa air mata menetes. Saya merasa bahagia bisa berkumpul dan menggemakan salawat, memuji Nabi seluruh Alam, Nabi Muhammad Saw.
“Kenapa kamu menangis? Ternyata saya salah, malam ini belum bisa membuatmu tersenyum”, sesal ustadz
“Hiks..hiks (tangisku keras), saya bahagia ustadz. Ini air mata kebahagiaan. Terima kasih ustadz. Ternyata ini yang saya rindukan. Saya merasa bodoh, ketika dihadapi permasalahan yang sepele. Hanya karena dicuekin orang yang saya kagumi, saya menangis. Sedangkan manusia yang dikagumi seluruh umat, tapi tidak pernah pilih kasih dan meninggalkan umat yang mengagumi, walau yang mengagumi sering lalai. Beliau tetap ada dan membekas dihati pengagumnya. Ya Allah dan Rasul-Nya, maafkan ummat-Mu yang lalai ini”, ucapku panjang dengan napas tersengal sengal.
“Saya paham. Kamu anak sholehah, saya yakin. Saya kasih tau ya, setiap kamu bersalawat Nabi Muhammad pasti datang dan hadir di majlis yang disitu hamba bersalawat. Jangan takut dicuekin Beliau”, ledek ustadz.
“Ustadz...”, rengekku sambil tersenyum
“Alhamdulillah, sudah bisa tersenyum, tidak ada lipatan lagi diwajah manismu nak”, puji ustadz.
Perayaan Isra’ Mi’raj malam itu menyadarkanku. Sekarang sosok yang seharusnya saya idolakan dan kagumi adalah baginda Rasulullah Saw. Mengagumi teman atau suka memang fitrah dan wajar. Yang menjadi tidak wajar, jika menangis dan bersedih karenanya. Tidak ada perhatian dan sebagainya, itu hal yang lebih wajar. “Kamu akan menemui keajaiban dibulan selanjutnya. Tunggu di bulan Sya’ban dan kamu akan mencapai kebahagiaan yang luar biasa di Ramadhan nanti. Percaya lah. Tunggu Beliau atau undang Beliau. Okeyy!! ”, pesan wa ustadz kepadaku. Dan dibawah pesan tertulis:
Allahumma baariklanaa fii rajaaba wa sya’banaa wa ballighnaa ramadhaana
“Amalkanlah doa ini sampai di puncak kebagiaanmu yang akan datang. Spesial di bulan yang diistimewakan Allah. Semoga istiqamah ya”, kalimat terakhir pesan wa dari ustadz.
Setelah itu, aku menjalani hari-hariku dengan semangat. Bersenandung, bersalawat, memuji Rasulullah. Dan saya tidak sabar menunggu puncak kebahgiaan yang akan datang. Menunggu Rasul yang menyertaiku dipuncak kebahagiaanku nanti.
Crew BSO Orasi
Komentar