Langsung ke konten utama

KAPAN MUNCULNYA TASAWUF ?



   

      Tasawuf dalam Islam bukanlah hal yang baru, tetapi menjadi dasar ajaran Islam sejak masa Rasulullah Saw. di antaranya ialah perilaku sufistik yang menjadi tradisinya. Kata tasawuf mulai terkenal pada abad 3 H. Sabda Nabi Muhammad Saw mengenai tiga dimensi agama Islam ialah islam, iman dan ihsan. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, menurut Syekh Kamba terdapat empat topik utama, yakni tiga di antaranya ialah tiga dimensi yaitu Islam atau kepasrahan diri, Iman atau kepercayaan dan Ihsan atau aktualisasi diri. Dan satu topik lagi yaitu mengenai hari kiamat, tetapi Rasulullah Saw. tidak bersedia untuk menjelaskannya.

        Dalam dimensi Islam atau kepasrahan diri sangat esensial dalam mendidik diri untuk selalu rendah hati dan menjaga tatanan sosial dalam berkehidupan. Ketika individu mampu untuk berpasrah dan berserah diri, maka ia telah menjadikan Allah Swt. sebagai proses kehidupannya. Adapun beberapa hal yang terkait pada dimensi Islam mencakup pada rukun Islam, yakni syahadatain atau penyaksian, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.

        Selanjutnya dalam dimensi iman, individu yang mempunyai keimanan yang baik akan berdampak pada perilaku mencintai sesama manusia dan semua makhluk di alam semesta karena semua itu ialah makhluk Allah Swt. Selain itu juga akan mengerjakan amal kebaikan sehingga membentuk pada intuisi keagamaan yang tajam. Keimanan akan berdampak pada rasa aman dan damai pada jiwa individu.

        Pada dimensi ihsan atau intuisi keagamaan, sangat berkaitan dengan dimensi sebelumnya, islam dan iman. Karena dengannya, dapat memperkuat rasa ihsan pada diri seseorang. Ihsan ialah menyembah Allah Swt. seperti engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, maka berkeyakinanlah bahwa Allah Swt. melihatmu.

       Dalam tradisi sufisme, metodologi yang tepat untuk memahami Al-Quran yaitu dengan cinta atau mahabbah, sebab semua orang pasti pernah mengalami jatuh cinta. Maka ketika seseorang mengalaminya, hal itu akan menjadikannya bertransformasi diri sehingga potensi-potensi yang dimilikinya melampaui kapasitas dirinya yang sebelumnya.

      Mengenai asal-usul tasawuf, tentunya memunculkan perdebatan pada umumnya sehingga diambil menjadi dua bentuk, yaitu:

      Dari segi terminologi, yakni dari akar kata serta catatan-catatan sejarah terkait munculnya kata “tasawuf” tersebut. Dari segi ajaran, yakni dengan melihat pada tokoh tasawuf ataupun dari kemungkinan persinggungan yang terjadi dengan tradisi lain.

    Pada zaman Rasulullah Saw. terminologi tasawuf memang belum ada tetapi dalam kenyataannya pada kehidupan di zaman tersebut dijamin sudah sangat terealisasikan baik itu akhlak maupun ajarannya, sebab Rasulullah Saw. merupakan sumber rujukan utama tasawuf. Pada abad satu dan dua Hijriyah juga belum ada ilmu yang membahas mengenai ilmu tasawuf, namun praktiknya sudah terlihat jelas dilakukan.

      Pada abad satu dan dua Hijriyah terdapat faktor munculnya gerakan asketisme menurut Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani, yaitu:

  1.   al-Quran dan sunnah
  2. kondisi sosial politik

Asketisme dipandang sebagai ajaran menjauhkan diri dari dunia. Namun dalam Islam, asketisme ditimba dari al-Quran, sunnah Nabi dan para sahabat. Asketisme Islam lebih kepada pengendalian diri dari keterpengaruhan duniawi dan hawa nafsu.

Setelah periode asketisme, abad ketiga Hijriyah tasawuf memiliki objek, metode dan tujuannya yang berbeda dari ilmu lain serta terdapat perdebatan antara teori fana’ dan baqa’. Mengenai hal ini, para sufi terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1 aliran para sufi yang pendapatnya moderat

2.  aliran para sufi yang terpesona dengan keadaan fana’


Beberapa karakteristik yang membedakan antara ilmu tasawuf dan ilmu lain serta dengan bentuk asketisme sebelumnya ialah:

1.      tasawuf sebagai makrifat

2.      tasawuf sebagai moral agama Islam

3.    Fana’, yang pada abad ketiga dan keempat para sufi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

   - kelompokyang berpegang teguh pada syariat (Abu Sa’id al-Kharraz, Abu al-Qasim al-Junaid)

     - kelompok yang cenderung menyatakan berlangsungnya penyatuan atau hulul (Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj).


            (Sumber: Perkuliahan Tasawuf Kontemporer (Jumat, 26/03) bersama Pak Maulani, M. Ag)



 

ds_mulyani

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk, Cari Tahu Perbedaan Psikoterapi Barat dan Psikoterapi Islam

Setelah kita mengetahui pengertian psikoterapi, tentunya dalam pemikiran kita muncul berbagai macam pertanyaan terkait pembahasan tersebut.  Nah, pada kali ini akan membahas mengenai perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam. Apa yang menjadi topik perbedaan antara keduanya? Sudut pandang psikoterapi dari mana yang efektif untuk digunakan? Mari kita cermati sama-sama  Psikoterapi ialah perawatan yang menggunakan alat, teori dan prinsip psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dan seorang ahli menciptakan hubungan yang profesional dengan pasien. Sedangkan psikoterapi Islam ialah teknik penyembuhan/penyelesaian masalah kejiwaan/mental dengan sentuhan spiritual yang menggunakan metode Islami seperti zikir, penerapan akhlak terpuji dan lainnya berdasar Al-Qur’an dan hadits.  Jika diteliti dari pengertian keduanya, tentu sudah terlihat berbeda bukan? Perbedaan psikoterapi Barat dan psikoterapi Islam: 1. Objek Utama Psikoterapi Dalam pandangan psikologi

Hukum Membaca Al-Qur’an Lewat Mushaf Ketika Shalat

Pernah suatu ketika di masa liburan saya di Jakarta, saya shalat berjama’ah di salah satu masjid yang ada di perumahan Jakarta, pada saat itu ada pemandangan asing yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya, yaitu sang Imam membaca surah sambil melihat kepada mushaf Al-Qur’an, akhirnya timbul keinginan di hati saya untuk mengetahui apa " hukumnya membaca dari mushaf Al-Qur’an ketika shalat " . Menurut rangkuman yang saya tulis berdasarkan referensi dari kitab Fatawa Syabakah Al-Islamiyah , ada 5 dari sekian banyak fatwa yang saya ambil, berkaitan mengenai masalah tersebut antara lain : 1.      Tidak masalah bagi orang yang ingin mengkhatamkan Al-Qur’an untuk membacanya dalam keadaan shalat dan di selain shalat Pertanyaan:     “Saya mencoba untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, pertanyaanya apakah saya boleh untuk membaca Al-Qur’an dari mushaf di dalam keadaan shalat Qiyamul Lail? Pertanyaan kedua apakah boleh saya menghadiahkan pengkhataman Al-Qur’an ini untuk kedua orang tua sa

Kisah Nyata Satu Gereja Masuk Islam

  بسم الله الرحمن الرحيم 22 – Februari - 2006 Suatu hari ada seorang pemuda Arab yang berkuliah di Amerika, dia adalah seorang muslim yang taat, yang Allah beri nikmat berupa pengetahuan akan agama Islam yang mendalam, dia juga juru dakwah Islam di Amerika. Ia memiliki seorang kawan berkeyakinan Nasrani di sana, hubungan mereka sangatlah akrab, dengan harapan semoga Allah memberikannya hidayah agar masuk islam. Suatu hari mereka berjalan-jalan melintasi perkampungan Amerika, di dalam perkampungan itu terdapat gereja, teman Nasrani nya memintanya agar turut masuk ke dalam gereja, awalnya ia menolak, namun karena terus didesak oleh temannya ia pun ikut masuk dan duduk di salah satu bangku dengan hening. Sebagaimana kebiasaan umat Nasrani pada umumnya, ketika pendeta masuk kedalam gereja, mereka serentak berdiri untuk memberi penghormatan, kemudian kembali duduk. Saat sang pendeta berdiri melihat ke arah para hadirin dia agak terbelalak dan berkata : ”Di tengah-tengah kita ada seo