Pernah suatu ketika di masa liburan saya di Jakarta, saya
shalat berjama’ah di salah satu masjid yang ada di perumahan Jakarta, pada saat
itu ada pemandangan asing yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya, yaitu
sang Imam membaca surah sambil melihat kepada mushaf Al-Qur’an, akhirnya timbul
keinginan di hati saya untuk mengetahui apa "hukumnya membaca dari mushaf Al-Qur’an ketika
shalat".
Menurut rangkuman yang saya tulis berdasarkan referensi
dari kitab Fatawa Syabakah Al-Islamiyah, ada 5 dari sekian banyak fatwa
yang saya ambil, berkaitan mengenai masalah tersebut antara lain :
1.
Tidak masalah bagi orang yang ingin
mengkhatamkan Al-Qur’an untuk membacanya dalam keadaan shalat dan di selain
shalat
Pertanyaan:
“Saya mencoba untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, pertanyaanya
apakah saya boleh untuk membaca Al-Qur’an dari mushaf di dalam keadaan shalat
Qiyamul Lail? Pertanyaan kedua apakah boleh saya menghadiahkan pengkhataman
Al-Qur’an ini untuk kedua orang tua saya?.”
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى
آله وصحبه، أما بعد:
فقل الجواب نريد أن ننبه أولا إلى أنه قد سبق
بيان جواز القراءة من المصحف في الصلاة وأقوال أهل العلم فيها، وبإمكانك أن
تطلع عليها في الفتوى رقم: 200
Sebelumnya kami ingin menerangkan bahwasannya oleh
membaca Al-Qur’an dari mushaf dalam keadaan shalat, hal ini juga dipersetujui
oleh beberapa pendapat dari ahli ilmu.
Dan bagi siapapun yang ingin mengkhatamkan
Al-Qur’an, maka ia boleh untuk membacanya lewat bacaan shalat maupun diluar
bacaan shalat, baik (membacanya) dari mushaf ataupun dari hafalannya, dan
hendaknya ia mempertimbangkan untuk menjamin menghatamkannya setiap bulan, atau
tidak usah menjaminnya. Karena semua ini luas (dalam penjaminan) selama
pengkhataman Al-Qur’an ini merupakan sesuatu yang dilakukan secara sukarelawan,
dan bukan hal yang bersifat Nadzar yang wajib dilakukan.
Dan baginya boleh menghadiahkan pahala tilawahnya
untuk orang tuanya, dan untuk siapapun yang ia kehendaki dari kalangan muslim. Hal
ini berdasarkan pendapat yang rajih dan beberapa pendapat dari ahli ilmu.
2.
Tempat
yang pantas untuk meletakkan mushaf Al-Qur’an
Pertanyaan:
“Saya bukan penghafal Al-Qur’an, tetapi saya suka
membacanya di pertengahan shalat saya, akan tetapi banyak yang mengatakan
bahwasannya sujud sambil memegang mushaf itu haram, maka bagaimana caranya saya
shalat sementara saya menggenggam mushaf?.”
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
فتجوز القراءة من المصحف في الصلاة على الراجح من أقوال أهل العلم
Diperbolehkan membaca lewat mushaf dalam
keadaan shalat, hal berdasarkan pendapat yang rajih dari beberapa
pendapatnya ahli ilmu.
ومن قرأ في صلاته بالمصحف فعند ركوعه وسجوده يضع المصحف على رفٍ أو حاملٍ
ونحوه يكون بجوار المصلي بما يليق بالمصحف من التعظيم والتنزيه
Dan bagi orang
yang dalam shalat (memegang mushaf) untuk membaca darinya maka hendaknya ia
meletakan mushaf diatas (papan) rak atau keranjang dan sejenisnya yang ada di
dekat orang yang shalat ketika ia hendak ruku’ atau sujud, sesuai dengan tempat
yang pantas untuk menta’dzhimkan dan menyucikan Al-Qur’an.
Imam An-Nawawi berpendapat: “Ummat bersepakat hukumnya wajib untuk
mengagungkan, menyucikan, dan menjaga Al-Qur’an secara mutlak.” Maka tidaklah
pantas bagi orang yang shalat untuk melatakkan Al-Qur’an ditangannya dan sujud
diatasnya, dan tidaklah pantas bagi orang yang shalat dan selain orang yang
shalat meletakkan mushaf diatas tanah.
3.
Kebolehan membaca Al-Qur’an lewat mushaf dalam
keadaan mengerjakan shalat wajib
Pertanyaan:
“Assalamu’alaikum....
Apakah boleh membaca mushaf dalam keadaan shalat wajib, atau hanya boleh pada shalat sunnah saja, sementara tangan orang yang shalat sambil memegang mushaf dan membaca dari mushaf itu? Dan apakah ketika orang yang shalat ketika membalik halaman mushaf merupakan perbuatan makruh, disebabkan karena ia ingin mencari surah-surah atau ayat tertentu, atau ingin menyempurnakan bacaanya? Dan apakah boleh mengulang bacaan yang sama di ke-2 rakaat pada satu shalat yang sama?
Jazakumullah, Wassalamu’alaikum....”
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
فإنه يجوز للمصلي أن يقرأ من المصحف في النافلة وكذا المكتوبة على القول
الراجح كما هو مبين في الفتوى رقم: 1781
ولا حرج في تكرار سور معينة في كل ركعة كما هو مبين في الفتوى رقم: 12118
Sesungguhnya orang yang shalat boleh untuk membaca sambil melihat kepada
mushaf baik pada shalat-shalat yang wajib ataupun yang sunnah, pernyataan ini
berdasarkan pendapat yang rajih. Dan tidak masalah jika di dalam shalat mengulang-ulang surah-surah
tertentu di setiap raka’at.
Adapun bila dinisbatkan ketika membuka mushaf dan membolak-balik
lembaran-lembarannya maka tidak ada pelarangan baginya, apalagi bila tidak
menimbulkan kesibukan baginya untuk khusyu’ dan mentadabburi apa yang
dibacanya, sedangkan yang lebih utama hendaknya ia meletakannya di bagian depannya,
karena ketika membawanya hal itu termasuk ‘illat yang dapat merusak ke-sahan
shalat yang disandarkan kepada pengikut Madzhab Hanafi.
Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Babarti mengatakan: “menurut Imam Abu
Hanifah, memegang mushaf, melihatnya, membedakan huruf demi huruf, dan
membolak-balikan lembarannya termasuk dalam banyaknya gerakan di luar gerakan shalat dan sudah tentu
dapat membatalkan shalat.
أما إن حمله وأراد السجود فيستحب أن يضعه على مرتفع بجانبه فإن لم يتيسر فلا
مانع من وضعه أمامه لأن ذلك ليس من الامتهان
Adapun ketika ia membawanya dan hendak ingin
bersujud, maka lebih baik ia meletakannya diatas tempat yang tinggi yang ada
disampingnya, dan bila menyulitkan baginya, maka tidak masalah untuk
meletakannya di depannya.
4. Membaca lewat mushaf di pertengahan shalat merupakan
perkara khilaful aula
Pertanyaan:
Apakah boleh
membaca dari mushaf ketika sedang melaksanakan shalat wajib ataupun sunnah? Dan
apakah boleh menggabungkan bacaan yang dibaca lewat mushaf dan bacaan yang
dibaca lewat mendengarkan rekorder lalu mengikutinya di pertengahan shalat yang
wajib dan sunnah ?
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
Sesungguhnya orang yang shalat boleh membaca bacaan surah sambil melihat
mushaf, baik pada shalat yang wajib dan sunnah.
Kebolehan ini berdasarkan pendapat Madzhab Syafi’i dan pendapat mu’tamad
dari Madzhab Ahmad, sedangkan Madzhab Maliki berbendapat hukumnya makruh, dan
dalil dari pendapat yang memperbolehkannya:
ما رواه البيهقي عن -عائشة رضي الله عنها- أنها كان يُؤَمَّها غلامُها ذكوان
من المصحف في رمضان
“Diriwayatkan oleh Imam Bayhaqi, dari sayyidah
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa dzakwan (budak) menjadi Imam baginya sambil
membaca mushaf pada bulan Ramadhan.”
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasannya membaca dari mushaf
ketika shalat dapat membatalkan shalat, kecuali apabila ia hafal lalu kemudian
membaca lewat mushaf tanpa memegangnya ketika shalat.
ولهذا نقول: الأولى ترك ذلك في الصلاة المكتوبة
Oleh karena demikian, kami berpendapat: “yang lebih utama ialah
meninggalkannya (membaca lewat mushaf) pada shalat yang wajib, untuk menghindar
dari perkara khilaf, menjaga kesunnahan shalat, seperti memandang kearah tempat
sujud, dan untuk menghindari perkara yang menimbulkan kesibukan dalam shalat,
seperti melihat ke mushaf, dan membolak-balik lembarannya.
Imam Abu
Hanifah berpendapat batal karena 2 alasan:
1. Membaca lewat mushaf termasuk banyaknya
gerakan dalam shalat.
2. Talaqqi lewat mushaf itu sama saja dengan bertalaqqi lewat guru.
Dan jika membaca lewat mushaf saja menjadi khilaf di kalangan Ahli Ilmu,
maka tidak diragukan lagi bagi ulama yang berpendapat batal, bahwasannya jika
ikut menggabungkan dengan mendengarkannya (lewat recorder) lebih kuat
pengaruhnya dalam membatalkan shalat. Ditambah lagi dengan fakta bahwasannya
Al-Qur’an itu dibaca untuk ditadabburi, maka sudah pasti orang yang sibuk
membaca lewat mushaf dan mendengarkannya (lewat recorder) menjadi sulit
untuk mentadabburinya pada satu waktu yang sama.
Maka kesimpulannya: menghindari membaca dari mushaf ketika shalat itu
sangat dianjurkan, dan sangat ditekankan (untuk dihindari) pada shalat wajib,
dikarenakan pada asalnya, orang yang shalat tidak dituntut untuk membaca surah yang panjang, maka cukup dengan membaca surah
Al-Fatihah dan surah yang memudahkan saja baginya.
5.
Hukum melihat kepada terjemahan makna
ayat-ayat Al-Qur’an di pertengahan shalat
Pertanyaan:
“Di
pertengahan shalat Qiyamul Lail, kemudian ia membaca makna terjemahan ayat dari
mushaf tersebut, maka apakah boleh melihat makna terjemahan ayat yang ada
dibagian samping mushaf sekalipun hal tersebut tidak mempengaruhi bacaan
ayatnya ataupun ke-khusyu’an shalat nya?”
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
Melihat kepada mushaf ketika shalat itu masih
dibolehkan oleh beberapa ulama.
أما بخصوص النظر في معاني الآيات في الصلاة، فلا ينبغي
Adapun ketika di khusukan masalahnya yaitu melihat kepada makna terjemahan
ayat ketika shalat, maka hal itu tidak diperkenankan, karena hal tersebut dapat
menimbulkan ketidak khusyu’an dalam shalat, dan diketahui bahwasannya segala
hal yang dapat membuat seseorang menjadi tidak khusyu’ dalam shalatnya
merupakan perkara makruh yang tingkat kemakruhannya paling rendah. Dan karena
demikian para ahli ilmu memakruhkan untuk menghiasi masjid (secara berlebihan)
karena dapat mengganggu orang yang shalat.
Dalam kitab Mawahibul Jalil dinukil dari pendapatnya Imam Malik: “Dimakruhkan
untuk menghiasi kiblat, karena hal tersebut dapat membuat manusia menjadi sibuk
dalam shalatnya”.
Maka yang ingin kami beritahukan kepada penanya: “Hendaknya membaca tafsir
ayat sebelum memulai shalat, dan adapun ketika menggabungkan antara bacaan,
terjemahan makna ayat, sekaligus kekhusyu’an, maka itu jauh sekali, karena
bagaimana mungkin seseorang dapat menggabungkan antara bacaan ayat, diikuti dengan
terjemahan makna-nya yang tertulis sekaligus menjaga ke-khusyu’annya dalam
shalat.”
Kesimpulan Ikhtilaf Dari 4 Madzhab
1. Madzhab Imam Abu Hanifah
Syekh Utsman dari kalangan Madzhab Hanafi menjelaskan bahwa melafalkan
bacaan shalat sambil melihat mushaf terjadi beberapa perbedaan pendapat, ada
yang mengatakan batal dan itu murni dari pendapatnya Imam Abu Hanifah, dan ada juga yang mengatakan makruh tidak
sampai batal berdasarkan pendapat Syaikh Abu Yusuf, beliau juga dari kalangan
madzhab Hanafi:
(وقِراءَتُهُ مِن مُصْحَفٍ) يَعْنِي تَفْسُدُ الصَّلاةُ. وهَذا عِنْدَ أبِي
حَنِيفَةَ وقالَ أبُو يُوسُفَ ومُحَمَّدٌ تُكْرَهُ ولا تَفْسُدُ صَلاتُهُ لِما
رُوِيَ عَنْ ذَكْوانَ مَوْلى عائِشَةَ - أنَّهُ كانَ يَؤُمُّها فِي شَهْرِ رَمَضانَ وكانَ يَقْرَأُ مِن المُصْحَفِ
“(Membaca
bacaan sholat dengan melihat mushaf) maksudnya, diantara batalnya sholat adalah
membaca bacaan sholat dengan cara melihat mushaf, dan ini pendapat Imam Abu
Hanifah. Syaikh Abu Yusuf dan Syaikh Muhammad berkata: dimakruhkan dan tidak
sampai membatalkan sholat, karena ada sebuah riwayat dari Dzakwan budah sahaya
siti Aisyah radiyallahu ‘anhuma bahwa siti Aisyah sholat berjama’ah
dengannya sebagai makmum di bulan Romadhon, dan Dzakwan membaca bacaan sholat
dengan cara melihat mushaf”.
Kata Imam
Muhammad Al-Babarti, dikutip dari pendapat Imam Abu Hanifah
قال محمد البابرتي في شرح الهداية: " ولِأبِي حَنِيفَةَ - أنَّ حَمْلَ المُصْحَفِ والنَّظَرَ فِيهِ وتَقْلِيبَ الأوْراقِ عَمَلٌ كَثِيرٌ، ولِأنَّهُ تَلَقُّنٌ مِن المُصْحَفِ فَصارَ كَما إذا تَلَقَّنَ مِن غَيْرِهِ، وعَلى هَذا لا
فَرْقَ بَيْنَ المَوْضُوعِ والمَحْمُولِ
“Berdasarkan
pendapat Imam Abu Hanifah – membawa mushaf, melihatnya, dan membolak-balik
lembaran-lembarannya termasuk banyaknya gerakan dalam shalat, dan karenanya
Talqin dari mushaf itu sama halnya dengan talqin dari selain mushaf, maka tidak
ada bedanya baik meletakan (mushaf didepannya) ataupun membawanya (menggenggam
di tangannya)”.
Jadi kesimpulannya, Madzhab Abu Hanifah MELARANG
shalat sambil melihat ke mushaf, dan menghukuminya sebagai perkara yang
dapat membatalkan shalat.
2. Madzhab Imam Malik
Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Alais, beliau merupakan salah satu pengikut
Madzhab Maliki dalam kitab Manhul Jalil Syarah Mukhtasor al-Kholil menjelaskan
bahwa makruh hukumnya melihat bacaan mushaf ketika sholat, baik sholat Fardhu
maupun sholat Sunnah. Syaikh Alais mengatakan:
(و)
كُرِهَ (نَظَرٌ بِمُصْحَفٍ) أيْ قِراءَةٌ فِيهِ (فِي) صَلاةِ (فَرْضٍ) سَواءٌ كانَتْ فِي أوَّلِهِ أوْ فِي أثْنائِهِ (أوْ)
فِي (أثْناءِ نَفْلٍ) لِكَثْرَةِ اشْتِغالِهِ بِهِ
“Dimakruhkan
melihat bacaan dari mushaf dalam sholat Fardhu, baik melihat di awal sholat
maupun pertengahan sholat, atau juga di pertengahan sunnah, karena banyaknya
pekerjaan dengan cara melihat mushaf”.”
Jadi kesimpulannya, Madzhab Maliki menghukumi MAKRUH
bagi orang yang shalat sambil melihat ke mushaf baik itu shalat fardhu ataupun
sunnah.
3. Madzhab Imam Syafi’i
Menurut Abū
Zakariyyā Yaḥyā ibn Sharaf al -Nawawī atau yang bisa dikenal dengan Imam
Nawawi dari kalangan madzhab Syafi’i
لَوْ قَرَأ
القُرْآنَ مِن المُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلاتُهُ سَواءٌ كانَ يَحْفَظُهُ أمْ لا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذا لَمْ
يَحْفَظْ الفاتِحَةَ كَما سَبَقَ ولَوْ قَلَّبَ أوْراقَهُ أحْيانًا فِي صَلاتِهِ
لَمْ تَبْطُلْ ولَوْ نَظَرَ فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ القُرْآنِ ورَدَّدَ ما فِيهِ فِي
نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلاتُهُ وإنْ طالَ لَكِنْ يُكْرَهُ نَصَّ عَلَيْهِ
الشّافِعِيُّ فِي الإمْلاءِ
“Jika membaca
Al-Qur’an dengan melihat mushaf, maka sholatnya tidak batal, baik hafal atau
tidak. Bahkan menjadi wajib melihat mushaf apabila tidak hafal surah Al-Fatihah
sebagaimana penjelasan sebelumnya. Begitupun tidak batal
apabila sampai membolak-balik Al-Qur’an di waktu-waktu tertentu. Juga tidak
batal bagi orang sholat yang melihat catatan-catatan lain selain Al-Qur’an dan
diulang-ulang isinya dalam hati meski lama, akan tetapi hukumnya makruh. Demikian
penjelasan Imam as-Syafi’I dalam kitab al-Imla’ ”.
Jadi kesimpulannya, Madzhab Syafi’i MEMBOLEHKAN
orang yang shalat sambil melihat ke mushaf, bahkan mewajibkannya bila orang
tersebut belum hafal surah Al-Fatihah.
4. Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
Syaikh
Muhammad Sulaiman dari kalangan Madzhab Hanbali dalam kitab at-Ta’liq ala
al-Iddah Syarh al-Umdah mengatakan:
يجوز للمنفرد
والمنفردة أن يقرأ من المصحف، ويجوز للإمام أن يقرأ من المصحف؛ لما ثبت أن ذكوان مولى عائشة كان يصلي بها
من المصحف في النافلة في قيام الليل فتصلي خلفه، لكن الأولى أن يقرأ من الذاكرة
حتى يكثر الحفظة، هذا هو الأولى، ولا يجوز للمأموم أن يفتح المصحف ليتابع الإمام،
هذا لا يجوز؛ لأن فتوى علمائنا أن المأموم مأمور بوضع اليمنى على اليسرى وإذا أمسك
المصحف يخل بهذا الشرط.
“Boleh bagi orang sholat munfarid (sendiri),
baik laki-laki maupun perempuan membaca Al-Qur’an dengan cara melihat mushaf.
Juga boleh bagi imam membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf, berdasarkan Hadits yang telah ditetapkan, bahwasannya dzakwan (budak)
melaksanakan shalat sunnah Qiyamul Lail bersama sayyidah ‘Aisyah, dan beliau
shalat sambil melihat mushaf, maka kemudian Sayyidah ‘Aisyah ikut shalat
dibelakangnya, akan tetapi yang lebih utama ialah membaca berdasarkan
hafalannya supaya hafalannya menjadi banyak, dan ma’mum tidak boleh membuka
mushaf untuk mengikuti Imam, karena berdasarkan fatwa Ulama-Ulama kita
bahwasannya ma’mum diperintahkan untuk meletakan tangan kanan-nya diatas tangan
kiri-nya, maka apabila ma’mum memegang mushaf hal ini menyalahi syarat dari
Ulama kita.”
Jadi
kesimpulannya, Madzhab Hambali MEMBOLEHKAN Imam dan orang yang shalat
sendiri untuk shalat sambil melihat mushaf, tapi MELARANGNYA untuk
seorang makmum.
Hukum membaca Al-Qur’an via Handphone ketika shalat
Berlanjut dari
masalah diatas, jelas sekali dalam khazanah fikih klasik, tidak akan ditemukan jawaban secara langsung atas persoalan ini.
Karena ini merupakan persoalan yang tergolong baru. Untuk itu kita mesti
mencari cantolannya dalam khazanah fikih klasik.
Sepanjang
pembahasan diatas, kita mendapati Ikhtilaf dalam kebolehan shalat sambil
melihat mushaf, maka jika cenderung untuk mengikuti
pendapat yang membolehkan, membaca Al-Qur`an dalam shalat melalui HP di-ilhaq-kan dengan kebolehan
membaca Al-Qur`an melalui mushaf dalam shalat. Sekalipun HP yang di dalamnya
terdapat aplikasi Al-Qur`an itu bukanlah mushaf, tetapi keduanya baik mushaf
maupun HP adalah sama-sama wasilah untuk beribadah. Sedangkan wasilah itu
bukanlah ibadah itu sendiri.
Meskipun kita
mengetahui bahwasannya ketika HP dibuka tidak langsung tampak mushaf-nya, dan
mesti dicari terlebih dahulu aplikasinya, dan kemungkinan dalam mencari
aplikasinya terjadi banyak gerakan yang dapat membatalkan shalat, tapi hal ini
ditepis oleh pendapat Muhammad Khathib
Asy-Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj
وَالْقَلِيلُ من
الْفِعْلِ اَلَّذِي يُبْطِلُ كَثِيرُهُ إذَا تَعَمَّدَهُ بِلَا حَاجَةٍ مَكْرُوهٌ
“Gerakan yang sedikit -di mana gerakan yang
banyak dapat membatalkan shalat- ketika dilakukan dengan sengaja tanpa ada
kebutuhan adalah makruh.”
والله أعلم
Fahrul Rozi (CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Angkatan 2022)
Komentar